09. how to forget

182 31 19
                                    

sometimes we fly
sometimes we fall
sometimes i feel like we're nothing at all

Cakra menghentikan mobil di depan rumah keluarga Gunawan. Saat ia melirik arlojinya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Jika obrolan dengan Gunawan berlangsung lama, mungkin Cakra lebih baik tidur di vila saja. Lagipula tubuhnya sudah lelah jika harus mengemudi kembali ke Jakarta.

Turun dari mobil, Cakra berjalan dengan langkah gugup menuju pintu rumah Gunawan. Rumah itu tidak banyak berubah. Hanya warna cat-nya yang diganti. Cakra melihat ke sekeliling. Di ujung halaman ada sebuah pohon kersen yang dulu sering dinaikinya dengan Sahna. Seingat Cakra, pohonnya dulu tidak terlalu tinggi, namun kini sudah cukup tinggi dan lebat.

Ingatan Cakra kembali melayang ke masa lalu. Ia ingat dulu sering bermain di sana bersama ketiga saudaranya dan Sahna. Namun ada satu kejadian yang selalu diingat Cakra.

"Yang itu tuh udah merah!" tunjuk Sahna ke salah satu titik di mana ia melihat buah kersen yang sudah matang.

Cakra yang sudah berada di salah satu dahan kembali menggerakan tubuhnya sesuai arahan Sahna. Satu kaki mencari pijakan yang lebih tinggi, sementara tangannya meraih dahan yang kuat untuk naik.

"Susah, Na!" keluh Cakra.

"Ayo kamu pasti bisa!" Sahna memberi semangat dari bawah. "Sedikit lagi itu!"

Merasa semangatnya dipacu, Cakra naik lagi ke dahan yang lain. Setelah usaha yang susah payah dan otot-otot di tubuhnya yang terasa sakit, Cakra berhasil mencapai dahan yang dituju. Segera saja ia memetik buah yang ditunjuk Sahna. Ternyata ada beberapa buah lain yang sudah matang di sekitarnya.

Cakra bersorak kegirangan. "Dapat, nih!"

"Sini-sini jatuhin ke bawah," ujar Sahna kegirangan. Gadis itu sudah menadahkan tangannya untuk menerima buah dari Cakra.

Namun tiba-tiba Cakra kehilangan pijakannya. Dahan yang diinjaknya patah. Tanpa persiapan, tubuh Cakra terhempas juga ke bawah. Ia berteriak kaget.

Tubuh kecil Cakra yang menyentuh tanah membuat suara yang cukup berdebam. Sahna menjerit karena terkejut melihat Cakra terbaring di tanah sambil mengaduh.

Keributan di luar itu terdengar oleh Gunawan. Pria itu segera lari ke luar dan mengecek keadaan.

"Aduh! Ada apa ini?" tanya Gunawan panik.

"Cakra jatuh dari pohon, Pak." Sahna sudah terisak karena syok.

Dengan segera Gunawan membantu Cakra. Anak itu tidak menangis dan tidak juga terlihat kesakitan. Cakra hanya meringis pelan. Satu tangannya menjulur ke arah Sahna. "Ini buahnya," ujarnya pelan.

Sambil menangis, Sahna menerima buah yang diberikan Cakra. Gadis itu menahan isakannya karena tidak mau membuat Cakra dan ayahnya menjadi panik.

Gunawan lalu memeriksa seluruh tubuh Cakra. "Mana yang sakit? Tadi kepalanya terbentur, nggak?"

Cakra menggeleng. Seluruh tubuhnya memang terasa sakit. Tapi ia masih bisa menahannya. Hanya saja tiba-tiba Cakra merasa perih di lengan bagian kirinya. Wajahnya menjadi pucat begitu melihat lengan sebelah kirinya mengeluarkan darah segar. Bagian lengan baju pendek berwarna terang miliknya seketika bercampur dengan warna merah.

"Ayo-ayo kita ke klinik," ajak Gunawan dengan sigap menggendong tubuh Cakra. Anak itu tetap diam sambil memegangi lengan kirinya yang kini sudah terasa perih.

Gunawan berkata pada Sahna sambil membawa Cakra. "Kamu kasih tahu Om Yudhi sama Tante Diana, ya."

Kembali ke masa kini, Cakra otomatis memegangi lengan kirinya. Di sana masih terdapat bekas luka jahitan karena insiden itu. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia ingat betapa gaduhnya hari itu. Cakra juga ingat Sahna yang terus menangis karena merasa bersalah sudah membuatnya celaka.

Temporary EffectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang