Drrttt ....
Drrttt ....
Drrttt ....
Ponsel yang ditaruh di saku kemeja pun kembali berbunyi dan bergetar. Sebuah panggilan sudah tentu masuk lagi.
Dan, Hovey yakin dari pihak yang sama, yakni kedua orangtua kandungnya.
Entah memakai nomor yang mana, tapi intinya ayah serta juga sang ibu bekerja sama untuk menghubunginya.
Tentu, mereka juga berada dalam satu tempat dan sedang berdiskusi mengenai nasibnya yang gagal menikah.
Analidis Hovey pastinya sesuai dengan kenyataan, bukan karena pengaruh dari minuman beralkohol yang ditenggak.
Saat ini, Hovey sendiri tengah berada di sebuah klub malam. Ia memesan empat botol tequilla lengkap berisi es batu.
Baru dihabiskan sebanyak lima gelas, selama kurun waktu satu jam saja.
Kesadaran jelas masih penuh. Tetap bisa digunakan berpikir dengan baik. Maka dari itu, asumsi yang dibuatnya masuk akal. Bukan hasil mengkhayal.
Dan untuk telepon orangtuanya, sudah diputuskan akan mengabaikan sampai akhir. Seberapa banyak pun, ayah serta sang ibu mencoba menghubunginya.
Malam ini, akan dinikmati waktu yang tersisa dengan minum banyak. Tentu, mabuk adalah tujuan utamanya.
Butuh pengalihan atas semua masalah di hidupnya. Otak tidak boleh menerus dipenuhi perkara-perkara tersebut.
Jika dalam kondisi normal, pikiran tak akan berhenti memutar semua. Tentu menimbulkan pemikiran yang semakin rumit, bukan mendapat penyelesaian.
Harus diistirahatkan sebentar otak demi menjaga kewarasan juga. Jika tidak, ia kemungkinan besar akan bisa gila.
Andai terjadi, maka kehidupan karier dan bisnis-bisnis yang dikelola, akan mendapatkan dampaknya pula.
Hovey enggan mengorbankan apa telah dimiliki serta dibangun, hanya karena hubungan pribadi tak berjalan baik.
Bukan demi dirinya belaka, atau untuk menjaga harta-hartanya saja. Ribuan staf juga bergantung hidup padanya.
Drrttt ....
Drrttt ....
Drrttt ....
Ponselnya kembali berdering, tandakan panggilan masuk. Kali ini, dari nomor yang berbeda dari lima menit lalu.
Semakin kuat dugaan Hovey, jika ada hubungan antara telepon satu dengan panggilan lain didapatkannya hari ini.
Dan, belum sama sekali dijawab karena niatan sedikit pun tidak punya. Firasat bahkan melarangnya dengan keras.
Namun, logika kian bertolak belakang. Mendorongnya terus terima panggilan guna dapatkan informasi secara jelas.
Dan kemudian, Hovey mengikuti otak yang memerintahnya untuk segera mengangkat telepon, walau berasal dari nomor tidak diketahui olehnya.
Hovey pun tak langsung bicara, ketika ponsel sudah dilekatkan di telinganya. Ia menunggu si penelepon berkata lebih dulu guna bisa mengenali suara.
"Hai, Hovey. Senang akhirnya kau bisa mengangkat telepon ini. Aku kira aku sudah salah sambung, tapi tidak."
Butuh hitungan lebih dari sepuluh detik untuk bisa dikenali siapa sesungguhnya yang tengah menghubungi dirinya
Setelah tahu, kekagetan besar langsung saja menyerang. Lalu, diikuti juga oleh perasaan kesal yang menggelegar.
Dada sudah pasti diserang rasa panas karena efek kejengkelan menyerangnya.
Baru permulaan saja, sudah membuat emosinya menggelora. Mereka bahkan belum terlinat dalam percakapan.
Pasti ada tujuan penting dirinya harus dihubungi. Entah rencana apa yang dimiliki sang mantan kekasih, Stewart.
"Kondisimu aman bukan? Aku dengar dari kakekmu, kau gagal menikah lagi."
"Apakah itu benar? Dan kenapa itu bisa terjadi? Apakah kekasihmu selingkuh?"
Pertanyaan bertubi yang didengarnya, kembali mampu memberikan dampak akan amarah semakin membara.
Apalagi, cara Stewart bicara sangatlah angkuh. Rasa simpati pun terdengar nyata dibuat-buat oleh pria itu. Tak akan mudah dirinya ditipu lagi.
"Aku turut prihatin dengan kejadian yang menimpamu. Aku tahu kau pasti kecewa berat dan sedih denga--"
Tidak akan didengar celotehan mantan kekasih bajingannya itu sampai selesai. Telepon dimatikan tanpa pikir panjang.
Andai diladeni, tak akan ada habisnya. Hanya akan memperburuk suasana hati yang memang sudah amat kacau.
Malam ini, diinginkan ketenangan. Tak mau menambah perkara. Apalagi, jika berkaitan akan mantan-mantannya.
"Hallo, Manis. Boleh aku bergabung?"
Tequilla di dalam mulut, untung tidak sampai muncrat keluar karena diserang rasa kaget melihat sosok Dencer tepat di depan kedua mata secara langsung.
Ya, pria itu adalah teman tidurnya.
"Hai, Nona Manis. Senang berjumpa lagi denganmu setelah hampir dua tahun."
"Untuk apa kau ada di sini?" Hovey pun bertanya dalam nada sedikit kasar.
"Aku sering kemari. Bukankah juga dulu kita bertemu di sini, Nona Manis?"
"Aku mendekatimu karena kau tampak seperti baru patah hati. Apakah kau baru mengakhiri kisah asmaramu?"
"Atau kau baru saja bercerai?"
Mata lebih melebar karena mendengar asumsi-asumsi dilontarkan oleh Dencer. Ia tidak suka dituduh demikian, walau ada beberapa yang sesuai akan fakta.
Saat ingin membalas, Hovey diserang rasa kaget karena Dencer mendekatkan wajah ke arahnya hingga napas pria itu pun berembus di pipi bagian kirinya.
"Aku tidak peduli kau baru mengakhiri hubungan dengan kekasihmu atau kau baru saja bercerai, tapi aku akan siap jadi sandaran untukmu, Nona Manis."
"Maksudmu kau siap menjadi teman tidurku lagi?" Hovey pun mengambil kesimpulan sendiri, dengan cepat.
"Jika kau mau kita bercinta, malam ini pun aku siap menemanimu, Nona."
"Tidak malam ini, Dencer." Hovey beri jawaban dalam nada yang tegas.
"Jika aku membutuhkanmu, pasti aku akan menghubungimu. Dan malam ini belum, aku butuh waktu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWASA III [21+]
General Fiction[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞