"Cepatlah makan, Sayang. Dad sudah menunggu di ruangannya sejak tadi."
Kepala masih belum diarahkan pada sang ibu yang baru selesai berceloteh. Ia masih melihat ke arah piring di meja.
Kedua tangannya pun tetap memegang pisau dan garpu guna memotong steak, menu utama makan siangnya.
Satu potongan besar dilakukan. Segera dimasukkan ke dalam mulut. Dikunyah pelan saja, seolah sedang menikmati.
Padahal, jenis kematangan daging, tak cukup disukai. Sudah tentu, bukanlah favoritnya. Malah sedikitpun tak enak.
Namun, demi memperpanjang durasi makan siang, maka harus dihabiskan semua dan mengunyah pelan-pelan.
Biasanya hanya satu jam, maka akan dibuat menjadi dua jam. Atau lebih lagi.
"Limmia, kau dengar apa yang Mom katakan? Jangan pura-pura tuli, Nak."
Sang ibu, tidak hanya berbicara dengan nada meninggi, tapi turut singkirkan piring yang berada di hadapannya.
Mau tak mau, harus dipandang ibunya. Dilempar tatapan lumayan tajam guna tunjukkan ketidaksukaan akan aksi yang dilakukan oleh sang ibu.
"Aku dengar, Mom." Limmia pun turut meninggikan nada suaranya. Pamerkan bagaimana dirinya juga jengkel.
"Aku mau makan dulu. Aku lapar. Nanti saja aku bertemu dengan Dad."
Selesai pengutaraan kalimat pembelaan diri, ia pun merebut kembali piringnya.
Memotong kasar steak. Masih dibuatnya dalam potongan besar. Lalu, dimakan.
Ingin tak dipedulikan diamnya sang ibu tapi tatapan kian menusuk yang tetap diperlihatkan, tentu mengusiknya.
Kemarahan ibunya tak boleh meledak karena akan cukup berbahaya. Dampak pun buruk terhadap dirinya.
Dan, cara pertama dilakukan Limmia sebagai antisipasi tatapan sang ibu, yaitu memerlihatkan cengiran.
"Aku akan makan cepat, Mom. Lalu, aku akan menemui Dad di ruang kerja."
"Beri aku makan dulu, ya? Aku tidak akan bisa mengobrol dengan Dad, kalau perutnya tidak benar-benar kenyang."
Limmia tahu bahwa alasannya konyol, namun hanya hal tersebut terpikirkan di dalam kepala. Langsung dikeluarkan tanpa memikirkan efek jangka panjang.
"Lima belas menit lagi, Nak. Tidak lebih dari itu karena Dad pasti akan marah."
Untuk menanggapi jawaban sang ibu, ia pun mengangguk-anggukan kepalanya dengan mantap. Cengiran tetap terukir di wajah, belum ada perubahan.
Namun, beberapa detik selanjutnya pun pudar seketika. Digantikan cepat oleh ekspresi yang amat serius. Cenderung menampakkan raut sarat ketakutan.
Penyebabnya adalah kedatangan sang ayah secara tiba-tiba ke ruang tamu.
Sejak memasuki pintu, Limmia sudah sadar akan keberadaan ayahnya. Dan ketika semakin dekat ke meja makan, maka ketegangan Limmia menjadi-jadi.
Sangat belum siap menghadapi ayahnya serta juga omelan-omelan terkait hasil kuliah magister dijalaninya yang buruk.
Tak ada satu pun pembelaan diri dapat Limmia pikirkan. Otaknya bahkan telah berhenti bekerja, sejak kedua matanya secara jelas melihat sosok sang ayah.
Debaran jantung berdetak kian lebihi batasan normal seharusnya akibat rasa gugup yang memengaruhi, tentu saja.
Walau tak ada ruang untuk menyugesti diri tetap tenang, namun Limmia telah bertekad akan bertingkah biasa saja di hadapan ayahnya. Ia harus berakting.
Dan, saat sudah mencapai meja makan, langsung diberikan pelukan pada sang ayah, seperti yang kerap dilakukan.
"Hallo, Dad. Aku rindu Dad. Sudah dua minggu aku tidak bertemu Dad dan Mom karena kalian pergi ke Dubai."
"Dad juga merindukanmu, Nak."
Mendengar balasan sang ayah yang tak berisi nada lembut sama sekali, dapat sebabkan Limmia jengah mendadak.
Dari gaya bicara ayahnya pun dingin. Membuatnya semakin merinding.
Disiapkan diri penuh guna menghadapi kemuarkaaan orangtuanya. Ia tak akan mungkin bisa terlepas begitu saja.
"Mia ...,"
Penyebutan nama panggilannya oleh sang ayah, memperburuk firasat.
Dan, ditengah perasaan yang sedang cemas bukan main, Limmia berusaha menunjukkan senyuman tanpa dosa.
"Iya, Dad. Ada apa?"
"Dad sudah membuat keputusan yang terbaik untukmu. Kau harus menuruti. Jika tidak, lisensimu sebagai pengacara akan Dad cabut. Kau tidak bisa beke--"
"Dad memutuskan apa?" Limmia refleks memotong karens enggan mendengar kelanjutan ucapan ayahnya.
Terlalu menyeramkan untuknya.
"Kau harus terbang ke Inggris. Kau akan mengikuti kuliah untuk program master di universitas dengan tatap muka."
"Kau akan tinggal bersama Clienzzo."
Sejak ayahnya bicara, sudah disiagakan kedua telinga untuk menangkap kata aps pun yang dikatakan tanpa harus merass terlalu gugup dan tegang.
Namun, saat nama sang mantan kekasih disebut oleh sang ayah, maka kekagetan besar tidak mampu disembunyikan.
"Aku harus tinggal dengan Clienzzo?"
"Benar, Nak. Selama di Inggris, kau akan tinggal bersama dosenmu, Clienzzo."
"Dad sudah berdiskusi bersama Prof Clienzzo. Dia setuju membantumu agar kau bisa memperbaiki nilaimu yang hancur di kelasnya, Limmia."
"Kau hanya punya kesempatan tahun ini, Nak. Gunakan sebaik mungkin agar kau segera lulus. Jika tidak, Dad akan mencabut lisensi pengacaramu."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWASA III [21+]
General Fiction[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞