03 (21+)

4.1K 6 0
                                    

"Kenapa aku ada di sini?"

Andai tak mendengar pertanyaan Varryna, maka tidak akan disadari keberadaan wanita itu di dapur. Ia terlalu fokus dengan menu sarapan yang tengah dikerjakannya.

Ingin diberikan jeda lebih lama, tak segera menjawab apa yang ditanyakan Varryna. Namun, sorot mata kebingungan wanita itu mengusik ketenangan batin Mach.

Walau, paling membuatnya terganggu adalah penampilan Varryna. Tanktop ketat warna putih dan celana pendek di atas lutut sekiranya ada lima sentimeter.

Mach tak bisa menghindari ketertarikannya pada pakaian digunakan Varryna. Apalagi, ia pria biasa, punya orientasi seksual normal.

"Aku menginap semalam? Atau bagaimana?"

Dari pertanyaan-pertanyaan yang kembali Varryna lontarkan, menguatkan rasa ingin tahu wanita itu. Dan, yang bertanggung jawab menjelaskan adalah dirinya.

"Iya, kau menginap di sini semalam," ucap Mach sembari angguk-anggukan kepala.

Varryna memang diam. Namun, dari sorot mata wanita itu tampakkan. Mach melihat masih belum terpuaskan Varryna dengan jawaban yang diberikannya tadi.

"Kau mabuk. Kau minum lumayan banyak vodka. Aku lupa tepatnya berapa gelas."

"Kau ingin pulang semalam. Aku berniat juga mengantarmu. Tapi, kau tiba-tiba saja tertidur. Jadi, aku memutuskan membiarkan kau menginap saja." Mach jelaskan lagi.

Sudah selesai, kali ini.

Hanya tinggal menunggu bagaimana reaksi dari Varryna. Ia sudah menerangkan semua dengan sejujurnya apa yang terjadi kemarin malam, tanpa ada bumbu kebohongan.

Sejak tadi memandang Varryna, membantu Mach tahu perasaan wanita itu. Walau, tidak secara menyeluruh mampu digambarkan lewat pancaran mata Varryna.

"Kita tidak lakukan apa-apa, bukan?"

Mach mengernyit. Jelas kurang bisa pahami dengan baik maksud pertanyaan Varryna kali ini. Kembali, harus dipikirkan ulang supaya benar-benar bisa dimengerti.

"Kau mengira kita tidur bersama?" Mach pun secara spontan luncurkan kesimpulan yang muncul di dalam kepalanya.

"Bisa saja, bukan?"

"Tapi, saat tadi di kamar mandi, aku tidak merasakan kejanggalan di tubuhku."

"Kalau memang kita bercinta, pasti akan ada jejak yang tertinggal." Varryna tambahkan. Mengeluarkan opini dengan subjektif.

"Hahahaha."

Varryna langsung mengernyit. Ditunjukkan ketidakpahaman akan reaksi yang sedang Mach perlihatkan. Tidak disangka pria itu akan tertawa. Padahal, ia tengah serius.

Varryna ingin keluarkam protes. Namun, ia lebih dulu menunggu hingga Mach berhenti tergelak. Terus dipandangi pria itu.

Penantian Varryna tidak sampai lima menit. Mach sudah menyudahi tawa. Pria itu kian lekat memandang dirinya.

"Harus aku akui kau menggoda. Tapi, aku tidak akan menyentuh bagian-bagian tubuh kau yang terlarang, tanpa izin darimu."

"Aku bukan bermaksud menuduh. Aku tadi spontan saja mengutarakan kecemasan yang aku rasakan." Varryna berkata apa adanya.

"Kalau kau tersinggung dan marah karena aku terkesan menuduh, aku minta maaf."

"Hahahah."

Varryna tidak habis pikir kenapa Mach bisa tertawa kembali. Bagaimana dapat pria itu beranggapan ucapannya lucu. Padahal, ia tengah serius dalam memohon maaf.

"Santai saja, Varry."

"Aku bukan tipe yang akan mudah marah atau kesal untuk masalah sepele. Aku tidak seperti mantan kekasihmu."

"Aku kira kau akan marah." Varryna berikan tanggapan. "Trims," katanya dengan tulus.

Tidak ada percakapan lanjutan. Keheningan pun mengisi kekosongan pembicaraan di antara mereka berdua. Namun, tak kikuk.

Varryna terus memerhatikan Mach. Ia bisa menyadari betul tatapan pria itu beberapa kali menjelajah dari kepala hingga ke ujung kakinya dengan sorot yang sangat kentara.

"Varry ....,"

Panggilan Mach membuatnya tidak hanya merinding, namun juga harus melakukan antisipasi dengan melangkah mundur sebab Mach semakin mendekat ke arahnya.

Seringaian ditampakkan oleh mach tambah lebar, membuat Varryna langsung terpikir hal yang mencurigakan pada pria itu.

Namun, baru sebatas prasangka muncul secara tiba-tiba. Tidak ada bukti nyata dapat berfungsi sebagai penguat dugaannya.

"Varry? Kau tidak apa-apa?"

Pertanyaan Mach terluncur, saat mendapati Varryna yang tersudut ke tembok. Punggung wanita itu cukup membentur tembok

Mach mendengar suara ringisan, walaupun cukup pelan. Kecemasannya bertambah.

"Bagian yang mana sakit? Apa punggung?"

"Bukan."

Varryna masih menggeleng, saat singkirkan membuka kaus digunakannya supaya bahu kiri yang terasa sakit bisa dilihat lebih jelas.

Varryna lumayan terkejut mendapati ada memar. Ingatan pun kembali ke kejadian Gabin mencengkram pundaknya.

"Kakak sepupuku berbuat ini padamu?"

Varryna baru saja hendak menjawab dengan kata-kata. Namun, tidak jadi karena Mach mencium bahunya yang terluka. Pria itu lakukan berulang hingga ia merinding.

"Kau harus memberikan aku kesempatan, Varry. Aku akan menjaga dan melindungimu dari pria berengsek seperti Gabin."

DEWASA III [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang