"Aku tidak ingin minum wine."
Ucapan yang baru selesai terlontar dalam seruan cukup kencang dari mulutnya, dapat langsung membuat perhatian Mach secara keseluruhan padanya.
Namun, pria itu tak bergerak. Tetap berdiri di depan lemari pendingin yang berisikan beragam minuman beralkohol.
"Bolehkan aku minta yang lebih menyengat? Misalnya whiskey? Atau vodka juga bisa."
Varryna langsung mendapatkan persetujuan Mach atas permintaannya. Pria itu anggukan kepala, hanya sekali saja dilakukan.
Kontak mata yang baru seperkian detik di antara mereka terjadi, harus diakhiri karena Mach mulai mencari minuman.
Varryna terus memusatkan atensi ke pria itu. Tak ada objek pandang yang menarik, selain sosok Mach Marton untuknya.
Harus diakui bahwa mansion milik pria itu tampak mewah dengan gaya interior yang minimalis. Didominasi warna putih bersih.
Semua perabotan berasal dari merek-merek terkenal berharga fantastis. Namun, Varryna tak terlalu ingin menaruh kekaguman pada hal tersebut. Tidak ada minatnya.
"Aku hanya punya vodka. Kau mau?"
Varryna mengangguk mantap. Matanya pun segera mencari sepasang manik hitam Mach agar mereka bisa beradu pandang lagi.
Setiap pergerakan pria itu lakukan, tak luput dari perhatian Varryna barang satu detik.
Mach tengah mengambil dua gelas terletak di atas lemari pendingin. Botol vodka telah berada di tangan pria itu.
Varryna kira Mach akan langsung menuju dirinya. Namun, malah berjalan ke salah satu laci dekat mini bar. Entah mengambil apa, Varryna belum melihat.
Rasa penasarannya terbayar dengan cepat, saat kotak obat berhasil dikeluarkan oleh Mach dari laci. Tapi, Varryna masih tidak tahu siapa yang tengah terluka.
"Bagaimana perasaanmu?"
Kerutan di dahi Varryna muncul. Sebab, tak paham dengan pertanyaan pria itu. Atau dirinya yang tidak memiliki jawaban.
Diputuskan untuk menggeleng pelan saja. Tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
Belum dipindahkan atensi dari Mach. Pria itu semakin dekat dengan sofa. Paling tak sampai hitungan lima detik, akan tiba.
Tebakan Varryna tepat sasaran.
"Kau tidak merasa ingin membunuh kekasih hatimu yang berengsek itu, Varry?"
Varryna semakin mendongak agar semakin jelas bisa melihat mata Mach Marton. Ia jadi penasaran apakah kilatan marah akan sama besar seperti nada bicara pria itu.
Saat beradu pandang, Varryna disuguhkan tatapan tajam oleh mantan atasannya itu. Ia seakan terpenjara, tak bisa untuk berpaling.
"Kau tidak mau melakukannya?"
"Melakukan apa?" Varryna secara asal saja meluncurkan balasan. Walau, sebenarnya tidak paham arah pembicaraan.
"Membunuh kekasih berengsekmu itu yang sudah sering menyakitimu, Varry."
"Kakak sepupuku." Mach memperjelas.
Posisinya kini sudah duduk di sofa, tepat bersebelahan dengan Varryna sehingga bisa dilihat jelas wanita itu membeliak karena rasa kaget akan jawabannya.
"Bukan hal sulit membunuh dia. Aku punya kenalan pembunuh bayaran yang handal."
"Bisa melakukan pekerjaan dengan bersih, tanpa menyisakan bukti." Mach bicara yang santai. Kontras dengan raut wajahnya.
Dan, ekspresi tegang ditampakkan Mach jadi menguatkan penilaian Varryna bahwa pria itu sangat serius akan tawaran diberikan.
Varryna berupaya berpikir jernih. Tak mau keinginan Mach sampai memberikan sugesti yang akhirnya menyetujui nanti ide gila pria itu. Ia bukanlah psikopat.
Sebenci apa pun pada orang lain, Varryna hanya menyimpan kemarahan. Tidak akan disertai bagaimana cara membalas hingga membuat penderitaan bagi orang itu.
Respons pertama yang Varryna tunjukkan adalah gelengan-gelengan kepala pelan. Ia tentu akan berbicara juga.
"Tidak usah." Varryna berucap tegas.
"Aku tidak harus sampai membunuh mantan kekasihku, walau dia sangat menyebalkan. Aku tidak mau berbuat kejahatan."
Varryna semakin lekat memandang sosok Mach yang belum memindahkan atensi satu detik pun darinya. "Aku harap kau paham."
"Jangan melakukan tindakan yang berikan dampak buruk untukmu," imbuh Varryna.
"Begitulah wanita kebanyakan. Masih tetap mengampuni, tidak peduli sudah disakiti."
Varryna hendak menjawab, namun aksi dari Mach yang meraih tangannya, jadi alasan ia mengurungkan niatan menginterupsi.
Varryna pun kini fokus dengan apa yang Mach tengah lakukan. Pria itu mengoleskan obat ke luka di dua jari tangan kirinya.
Varryna cukup merasa perih sampai suara ringisan dikeluarkan. Tak menyangka saja cengkraman mantan kekasihnya mampu menimbulkan luka yang cukup dalam.
"Berengsek sekali kakak sepupuku itu!"
"Berani sekali dia menyakiti wanita seperti ini. Aku akan membalasnya!"
"Jangan, Bos." Varryna berucap spontan.
"Aku tidak bisa terima perempuan yang aku sukai disakiti. Kau tidak pantas menerima perlakuan buruk, Varry. Kau berharga."
Ucapan Mach sudah tentu langsung mampu mengena ke hatinya. Namun, tak bisa untuk dilontarkan balasan. Walau, pria itu tengah menunggu bagaimana tanggapannya.
Lalu, Varryna merinding karena Mach yang mencium lukanya. Tindakan sama sekali tak disangka akan dilakukan oleh pria itu.
"Bisa kau memberiku kesempatan, Varry?"
"Kau sudah bukan bawahanku lagi. Tidak ada larangan bagi kita menjalin hubungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWASA III [21+]
General Fiction[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞