"Apa lagi, Amazia? Aku sudah bilang, aku tidak mau diganggu di hari Sabtu."
"Aku butuh istirahat. Aku bukan robot yang bisa terus bekerja, satu minggu."
"Aku akan kerjakan semua, saat Senin tiba. Aku janji aku tidak akan bo--"
"Saya menelepon bukan untuk berikan kabar soal proyek-proyek kita, Bos."
Hovey sudah menyiapkan omelan lagi, namun perkataannya yang dipotong oleh Amazia, membuat dirinya malas lanjut berkata. Dipilih diam saja.
Tentu, sambil mencerna apa yang baru disampaikan sang sekretaris. Walau, belum sepenuhnya selesai diucapkan.
Hovey memilih menunggu, Amazia pasti akan mengungkapkan semuanya yang mesti ia ketahui. Entah bahasan apa. Belum mampu untuk ditebaknya.
"Bos, apa Anda masih di sana?"
"Iya." Hovey menjawab dengan nada malas. Suara teralun tidak kencang.
"Saya minta maaf karena saya mungkin mengganggu waktu istirahat Anda."
"Tapi, saya menelepon Anda karena saya mendapat perintah dari kakek Anda untuk mengabari Anda."
Hovey membeliakkan mata. Reaksi atas kekagetan mendengar penjelasan dari sang sekretaris. Perasaan mulai tidak enak, walau penasaran juga.
"Sekarang mau apa pagi Granpa? Kau disuruh menyampaikan apa padaku?"
"Katakan saja. Aku siap mendengarkan perintah apa pun karena aku tidak akan punya hak untuk menolak." Hovey pun mengimbuhkan. Suara lebih meninggi.
"Maafkan saya, ya, Bos. Jangan marah pada saya karena saya hanya lakukan perintah. Saya terpaksa lakukan."
"Baiklah." Hovey menanggapi cepat. Ia lalu embuskan napas yang panjang.
Upayanya dalam menenangkan diri dan siap mendengar informasi akan sang asisten sampaikan kepadanya.
Insting memberi tahu jika kabar yang diterima merupaka berita buruk. Hal tersebut didukung dari cara Amazia hendak menyampaikan kepadanya.
Namun, hingga dua menit menunggu, tak dikatakan apa-apa oleh asistennya. Walaupun begitu, sambungan telepon masih ada. Tidak terputus sama sekali.
"Katakan cepat padaku," pintanya lalu.
"Kakek Anda menyampaikan pada saya, jika pernikahan Anda tidak boleh gagal lagi, kali ini. Harus tetap dilanjutkan."
"Tetap dilanjutkan? Aku harus menikah dengan siapa nanti? Sudah jelas mantan kekasihku pergi dengan berengsek."
"Mr. Stewart."
Emosi Hovey langsung terbangkitkan. Ia bahkan diterjang perasaan panas hebat di dalam dada karena amarahnya yang besar dan tidak bisa dikendalikan.
"Bos? Anda masih di sana bukan?"
"Ya, aku masih di sini." Hovey lontarkan jawaban spontan. Terlolos begitu saja.
"Jadi, bagaimana, Bos? Apa Anda setuju?Saya harus memberi tahu keputusan Anda pada kakek Anda segera."
Saat ingin menjawab, tiba-tiba saja bel pintu kediamannya berbunyi. Sudah sangat jelas jadi tanda jika ada orang yang tengah datang. Entah siapa.
Harus dipastikan dahulu. Maka dari itu, acara bertelepon dengan sang asisten pun disudahinya secara sepihak.
Segera berjalan ke arah pintu. Dan tak melihat lebih dulu pada layar pengawas karena yakin yang menemuinya bukan perampok ataupun pembunuh.
"Hai, Wanita Manisku."
Mata membeliak melihat Dencer.
Walau tak takut jika nyawanya menjadi terancam, tetap saja merasa kaget akan kehadiran pria itu di kediamannya.
Sama sekali tidak ada pemberitahuan dari Dencer lebih dulu. Sebab, mereka memang tak jalin komunikasi apa pun.
Meski demikian, bukan berarti Dencer bisa seenaknya datang. Apalagi, tidak ada janji mereka buat sebelumnya.
Tentu, harus ditanya alasan Dencer. Tak mungkin tanpa tujuan yang jelas.
"Kenapa kau ke sini? Aku tidak merasa memanggilmu untuk bercinta den--"
Belum sempat diselesaikan ucapannya, sudah diterima cumbuan dari Dencer. Cumbuan pria itu lembut, tapi ganas.
Hovey hanya bisa berdiri diam seraya menikmati ciuman Dencer. Ia tidak berusaha untuk menghentikan.
Bukan tak bisa, namun lebih pada rasa enggan mengakhiri. Sebab, cumbuan dan dekapan Dencer nyaman baginya.
Apalagi, pikiran sedang kacau dengan masalah yang tak kunjung usai. Ia perlu semacam pengalihan sementara.
Dan selama ini, seks selalu berhasil.
"Kenapa aku ke sini? Bukankah saat kita terakhir bertemu, aku sudah berjanji akan menemui kau kembali, Hovey?"
"Aku menepati janjiku. Dan aku juga ...."
"Dan aku juga apa?" desak Hovey dalam melontarkan pertanyaannya.
"Aku juga merindukanmu, Sayang."
"Kau tidak merindukanku?"
Pertanyaan diajukan Dencer masuk ke telinganya dengan jelas. Hanya lidah yang kaku untuk digerakkan. Mulut pun hanya membuka sedikit, belum bicara.
"Aku tahu kau sedang patah hati. Apa kau tidak mau bercinta denganku agar kesedihan tidak terus berlarut?"
"Bukankah dulu saat kau gagal menikah dengan mantan kekasihmu, kita berdua bercinta beberapa kali dan kau bisa melupakan patah hatimu itu?"
"Apa kau tidak mau mengulanginya lagi denganku, Nona Manis? Aku akan buat kau merasa puas bercinta malam ini."
"Kau sungguh bisa menjamin, jika aku bercinta denganmu, aku akan dapat melupakan patah hatiku, Dencer?"
Jawaban Hovey menjadi angin segar dan lampu hijau untuknya, maka lekas digunakan kesempatan yang ada.
Jarak dengan wanita itu dipangkasnya sehingga bisa merengkuh dalam gaya dekapan yang posesif. Wajahnya pun didekatkan guna mencumbu Hovey.
"Aku akan jamin kau puas malam ini, Sayang. Karena aku pun sudah lama menunggu momen panas kita terulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWASA III [21+]
General Fiction[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞