Selcia bangun begitu pagi, walaupun pusing di kepala menuntutnya untuk tidur lebih lama lagi. Namun, tidak dilakukan.
Selcia sudah mengatur jadwal hari ini akan mengunjungi makam mendiang kakeknya, telah direncanakan sejak satu bulan lalu.
Selcia sampai di tempat tujuan pun sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, yakni tepat pukul sepuluh pagi.
Selcia datang sendirian. Tak ditemani oleh anggota keluarganya yang lain. Hanya sopir pribadi mengantarkan ke pemakaman.
Selcia memang tak mengajak siapa pun. Ia ingin menikmati momen kunjungannya dengan hikmat dan tanpa gangguan.
Bukan berarti juga, jika Selcia mengajak sang kakak sepupu, akan terjadi kehebohan atau masalah. Hanya saja, ia ingin sendiri.
"Hai, Granpa." Selcia menyapa yang pertama kali, sejak tiba dua puluh menit lalu.
Sudah dilakukan peletakan dua buket bunga dan berdoa untuk mendiang sang kakek. Ia lalu duduk dengan posisi yang santai saja.
Selcia menikmati suasana hening dan sunyi, tanpa ada orang lain bersama dengannya. Terasa damai seperti yang dikehendakinya.
"Maafkan aku baru datang, setelah setahun lebih tidak menjenguk Granpa."
"Tugas dan tanggung jawabku sangat banyak di Eropa. Entah kenapa, beban pekerjaan lebih banyak diberikan padaku."
"Aku tahu tidak seharusnya mengeluh, tapi aku merasa Dad tidak bisa andil. Aku yang lebih banyak bekerja dibanding Roer."
"Dad selalu berdalih, jika aku mempunyai bakat berbisnis lebih bagus dibandingkan kakak laki-lakiku itu." Selcia kian emosi.
Saat mengingat betapa sang ayah pilih kasih dan memanjakan Roer Quinn, jelas Selcia akan bisa merasa jengkel tiba-tiba.
Apalagi, hanya karena saudara tertuanya itu adalah satu-satunya anak laki-laki dimiliki orangtuanya. Roer selalu diutamakan.
"Andai Granpa masih di sini, aku pasti bisa mendapatkan pendukung yang membelaku. Dan, Dad tidak membela Roer terus."
Kemudian, Selcia menggeleng. Menepiskan rasa tidak aman dan rasa kurang percaya diri yang tiba-tiba saja muncul.
Salah satu cara menghilangkan, yakni lewat pemberian sugesti positif pada diri sendiri. Harus dikuatkan tekadnya juga, tentu saja.
"Tapi, tidak apa Granpa. Aku sudah selalu siap bertempur dengan semua kondisi."
"Aku ini hebat dan berbakat berbisnis. Aku jauh lebih unggul dari Roer." Selcia berujar dengan diiringi tawa, kali ini.
Selcia menarik kedua ujung bibirnya secara bersamaan, membentuk senyuman lebar. Dilakukan sebagai sebuah keharusan. Meski sang kakek tidak melihatnya langsung.
Setiap kali mengunjungi pemakaman, akan dibuat suasana hati dalam keadaan bagus dan mengabaikan sejenak beban pikiran.
Namun, rasanya hari ini akan sulit. Selcia terus tergiang masalahnya dengan Wilden.
Wasiat perjodohan.
Pernikahan sementara.
Dua perkara yang mesti dihadapinya. Tidak ada jalan mundur atau penghindaran yang bisa dilakukan. Pilihannya hanya mundur.
"Haaahhh!" Selcia berseru kesal.
"Granpa ...," Disebutkan panggilan untuk sang kakek dengan tak bersemangat.
"Aku sebenarnya benci mengeluh. Tapi, aku belum bisa menerima wasiat yang Granpa tinggalkan untukku." Selcia berujar lirih.
"Aku tidak bermaksud juga menjadi cucu pembangkang. Tapi, aku sungguh ....."
Selcia menjeda tanpa rencana karena dada mendadak dihantam rasa sesak. Memberi efek juga pada matanya yang telah berair.
Namun, ditahan diri supaya tidak sampai menangis. Sama artinya memerlihatkan sebuah kelemahan. Selcia paling tak suka.
Diputuskan mengatur napas. Udara yang banyak dihirup untuk mengisi paru-paru. Lalu, dibuang juga dengan segera.
Hendak lanjut mengungkapkan apa saja yang ada di dalam hati. Tapi, diurungkan hal tersebut setelah melihat sosok Wilden.
Kekagetan Selcia tentu cukup besar. Ia tidak tahu persis kedua bola matanya sedang membulat sebesar apa. Namun, Selcia yakin tampak sangat membeliak.
"Hai."
Sapaan Wilden yang sudah berada lumayan dekat dengannya, memang singkat namun terdengar tulus di telinga. Apalagi, senyum dipamerkan oleh pria itu.
Hanya anggukan pelan ditunjukkan Selcia sebagai balasan. Tak mengatakan apa-apa.
Sementara, kedua matanya memerhatikan secara detail setiap pergerakan Wilden.
Kini, pria itu tengah menaruh dua buket bunga dengan beragam jenis di atas nisan makam sang kakek. Lalu, Wilden berdoa.
Selcia enggan melepaskan atensinya dari sosok pria itu. Sampai Wilden selesai. Tidak lama memang acara berdoa dilakukan.
Mata mereka pun berserobok, saat Wilden memandang secara penuh pada dirinya.
Selcia sempat dilanda kegugupan seperkian detik. Namun, segera dapat dikendalikan diri dan memasang ekspresi datar.
"Kenapa kau tidak bilang akan kemari? Aku rasa kita bisa pergi bersama-sama."
"Kenapa juga aku harus bilang padamu? Aku bisa pergi kemana pun sesukaku." Selcia pun bicara dengan gaya acuh tidak acuh.
"Iya, aku tahu."
Selcia tak memberikan tanggapan lanjutan. Terkesan jawaban Wilden kurang menarik. Namun, tidak akan keberadaan pria itu.
Wilden ikut duduk bersamanya. Tepat, di sebelahnya dengan jarak di antara mereka yang cukup dekat hingga dapat menguarkan parfum digunakan Wilden ke hidungnya.
"Kapan terakhir kau kemari?"
"Mungkin sekitaran empat atau tiga bulan yang lalu. Aku tidak ingat pasti." Selcia pun menjawab apa adanya.
"Aku setiap bulan selalu menyempatkan diri kemari. Apalagi, saat aku rindu kakekmu."
"Kalian lumayan dekat. Jadi, aku tidak kalau kau pasti sudah menganggap Granpa seperti kakekmu sendiri. Begitu pun Granpa."
"Iya. Bisa dibilang sangat dekat dan akrab. Makanya, aku bersedia melakukan wasiat yang ditinggalkan oleh kakekmu."
Selcia memutar bola matanya malas, selepas mengakhiri acara bersitatap dengan Wilden.
Suasana hatinya semakin buruk, sebab pria itu membahas kembali tentang amanat dari sang kakek. Ia terlalu sensitif akan hal ini.
"Aku tidak menyangka aku akan mendapat wasiat yang sedikit pun tidak aku in--"
"Bisakah kau jangan terus membahas wasiat saat kita bicara? Perlu kau tahu, aku cukup muak dengan apa pun soal wasiat."
Wilden menyeringai. "Kita tidak akan dapat berkelid, Selcia. Kau ingat kesepakatan kita kemarin?" tanyanya guna memancing.
"Biar aku ingatkan, ya?"
"Kau setuju kita lakukan penyesuaian dan tahu kekurangan serta kelebihan di diri kita masing-masing, dengan tinggal bersama sebelum pernikahan dilaksanakan."
Selcia pun segera mengangguk. Walaupun, gerakan kepalanya pelan. Tak ada antusias atau semangat sama sekali.
Dan, memanglah Selcia tidak akan lupa akan pembicaraan di antara mereka berdua yang terjadi kemarin, walaupun sedang dalam pengaruh minuman beralkohol.
"Kapan kita akan mulai tinggal bersama? Di rumahmu atau apartemenku?" tanya Selcia to the point. Enggan berbasa-basi.
"Bagaimana jika hari ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWASA III [21+]
General Fiction[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞