"Grandpa, sudah sejak kapan datang?" Hovey ajukan pertanyaan untuk sang sekretaris yang masih duduk di kursi.
Tentu, dua detik kemudian, langsung berdiri guna menunjukkan rasa hormat pada dirinya. Namun, tidak akan bisa begitu saja membuatnya berhenti kesal.
Dan, alasan mengapa merasa jengkel dengan Amazia Carton, yakni karena wanita itu membiarkan sang kakek masuk ke ruangan kerjanya.
Padahal, dua jam lalu, sebelum rapat dimulai, sudah dititipkan pesan ke Amazia, jika ia tak akan menerima tamu. Termasuk juga keluarganya.
Namun, Amazia malah melanggar.
Walau sebenarnya, Hovey sangat tahu jika sang sekretaris, tidak akan berani menolak kunjungan Roberto Nielson, yang notabene pemilik perusahaan.
Meskipun begitu, harusnya tetap ada dulu diskusi dengan dirinya. Minimal ia bisa melakukan penghindaran untuk bertemu dengan kakeknya itu.
"Anda sudah ditunggu sejak tiga puluh lalu, Bos. Lebih baik, Anda sekarang masuk dulu. Omeli saya nanti."
Percayalah, walau merasa sebal akan tindakan Amazia, tapi tetap saran dari sang sekretaris dilakukan, tanpa harus mempertimbangkan lama kembali.
"Aku akan ke dalam."
Selesai berkata, salah satu kaki mulai digerakkan. Yang lain menyusul.
Berjalan dengan langkah pelan. Tidak akan terburu-buru. Walau, sang kakek tengah menunggunya di ruangan.
Semakin lama durasi diperlukan, maka bisa diperpanjang pula waktu bernapas dengan nyaman, tak tersengal-sengal.
Walau, pikiran tambah kacau manakala membayangkan pertemuannya dengan sang kakek yang pasti berjalan alot.
Mungkin akan banyak ada perdebatan jika perbedaan-perbedaan pendapat tak bisa dihindari. Dan, mustahil terjadi juga obrolan yang berlangsung tenang.
Terlebih, penyelesaian untuk masalah dimilikinya belum menemukan solusi terbaik diambil. Maka, penuntasan akan ada banyak opsi pasti nantinya.
"Aku harus siap." Hovey pun memberi sugesti positif bagi dirinya sendiri.
Harus demikian. Hanya ia seorang yang bisa mendukung sepenuh hati. Tak akan orang lain yang mampu melakukan.
Risiko besar atas prakaranya, pasti juga ditakuti. Namun, penghindaran tidak mungkin diterapkan. Ia bukan orang yang pengecut dan lari dari masalah.
"Kau pasti bisa." Kembali ditunjukkan semangat untuk dirinya sendiri.
Setelah itu, napas diembuskan dengan panjang. Lantas, dengan cepat udara bersih dihirup guna mengisi paru-paru yang terasa kekurangan oksigen.
Debaran jantung meningkat tentunya. Kegugupan sekaligus ketegangan, tak mampu dicegah melingkupinya.
Bahkan, belum bertemu dengan sang kakek. Dan nanti jika mereka sudah saling berhadapan, efeknya pasti akan bertambah parah dibanding sekarang.
"Kenapa kau masih di sini, Cucuku? Ayo masuk ke dalam. Kita harus bicara."
Untuk beberapa detik, napas rasanya terhenti bagi Hovey akibat kehadiran sang kakek di depannya, tiba-tiba.
Walau, merasa terkejut bukan main, ia tak akan bisa diam dan berdiri saja.
Harus diikuti perintah kakeknya.
Kedua kaki pun berusaha dilangkahkan segera ke dalam ruangan. Walau cukup kaku digunakannya berjalan. Tentu, ia tetap paksakan sampai di depan sofa.
Sesampai di sana, Hovey tidak segera duduk. Ia tak bisa lakukan saja.
"Apa yang terjadi padamu, Cucuku?"
"Aku dan mantan kekasihku putuskan membatalkan pernikahan kami."
"Alasannya ...." Hovey menggantungkan ucapan karena melihat perubahan di wajah sang kakek. Ekspresi lebih serius.
"Kami merasa kami tidak cocok. Kami putuskan batal menikah, daripada nanti kami berdua gagal ditengah jalan."
"Aku yakin Granpa akan paham dengan alasanku dan tidak menuntut apa-apa tentang keputusan sudah kami buat."
"Tidak, Hovey."
Embusan napas dilakukannya hati-hati karena jawaban sang kakek. Walaupun tak dengan bentakan keras, namun cara menatapnya tajam membuat merinding.
Bahkan, sudah tidak bisa berkata-kata lagi untuk memberi keterangan yang lebih lanjut agar dipahami kakeknya.
Pilihan baginya hanya diam. Lebih baik membungkam mulut, dibanding salah dalam mengeluarkan opininya.
"Hovey ...,"
"Ya, Granpa? Ada apa?" Dijawab cepat dengan nadanya yang sopan.
"Kakek kecewa kau mengambil putusan untuk membagalkan pernikahan ini."
"Sudah beberapa kali kau gagal, Nak. Granpa merasa kecewa padamu. Kau harusnya bisa bertindak lebih bijak."
"Maafkan aku, Granpa." Hovey berujar dalam segenap ketulusannya.
"Aku minta maaf sudah membuat Mom, Dad, dan Granpa merasa kecewa."
Hovey sejujurnya ingin membela diri. Ia merasa kesal juga karena tekanan atas masalah pernikahan yang batal. Dan semua kesalahan dilimpahkan padanya.
Tak ada keinginan keluarga untuk bisa memahaminya. Atau menaruh rasa simpati. Sama sekali tidak dikasihani.
Dirinya enggan menerima perhatian yang berlebihan juga. Namun, ia butuh sandaran dan tempat berbagi. Keluarga pun menjadi pilihan paling utama.
"Pernikahanmu harus tetap terjadi demi menjaga nama baik kami. Tidak peduli jika bukan Richard menjadi suamimu."
"Jangan mempermalukan kami untuk yang kedua kalinya, Nak. Kami tidak akan bisa berkompromi lagi."
"Maksud Granpa, aku harus menikah dengan siapa pun? Termasuk, pria yang tidak aku cintai ataupun kenal?"
"Benar, Nak."
"Kami yang akan memutuskan dengan siapa kau akan menikah. Kau tidak usah cemaskan keputusan kami. Kau akan mendapatkan suami yang layak."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWASA III [21+]
General Fiction[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞