2. Bukan Hanya Butuh Sosoknya

24 14 0
                                    

Balek lagiiii
Ternyata dah lama banget gk update. Mulai hari ini aku bakal update ROTR tiap hari ya seng 👌

TANDAI YANG TYPO YAK

Happy Reading 🤍

---------------------------------

---------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bagian 2:

Bukan Hanya Butuh Sosoknya

Suasana kelas saat ini tampak ramai setelah bel jam pulang telah berbunyi. Siswa-siswi yang telah jenuh dengan berbagai banyaknya materi hari ini pun kembali semringah. Bebannya hilang begitu saja. Berbondong-bondong serempak keluar dari kelas masing-masing.

Sama halnya dengan Kabhian Arkatama yang saat ini baru saja keluar dari kelas 12 bersama Ancaskara dan Enigma-kedua temannya. Mimik wajahnya pun sama dengan yang lainnya, gembira.

Bukan, bukan karena jam pelajaran telah usai. Melainkan, karena suatu hal lain. Kertas putih masih ia genggam dengan bangga. Pasti Bundanya sangat gembira mendengar kabar ini. Kalau dirinya gembira, mengapa Bundanya tidak? Ini akan menjadi kabar yang baik.

"Jagoan kita nih bro! Congrats Bhi, bangga gue punya temen kayak lo," ucap Enigma sembari merangkul pundak Bhian dengan bangga.

"Bener kan yang gue bilang, lo pasti bakal dapet nilai bagus," timpal Kara yang berjalan di sebelah Bhian.

"Thanks, ini juga berkat doa kalian," jawab Bhian sembari tersenyum kepada kedua temannya. Bhian yakin, hasil tak akan menghianati usaha yang telah ia la-kukan.

Asal kalian tahu, Bhian bangga pada dirinya karena telah berhasil meraih nilai hampir sempurna pada mata pelajaran yang tak ia kuasai. Memang, Bhian adalah anak yang pintar dalam bidang akademik. Namun, suatu kepintaran manusia pasti ada kekurangannya juga. Dan inilah kekurangan Bhian, tak pandai dalam mata pelajaran Fisika.

Mungkin tak masalah jika hitung-hitungan di mata pelajaran Matematika. Namun, entah kenapa, Bhian rasa dirinya sangat lamban dalam memahami pelajaran satu ini. Sehingga, saat ulangan harian maupun ujian yang lebih serius, nilainya kurang memuaskan.

Dan hari ini, congratulation Bhian. Akhirnya lelaki berumur 17 tahun itu dapat meraih nilai 98. Itu yang membuat hatinya berbunga-bunga. Rasanya sudah tak sabar untuk memberi tahu Bundanya di rumah. Mumpung Bundanya sedang bekerja secara daring karena akhir-akhir ini kondisi tubuhnya sedang tak stabil.

Sampailah mereka bertiga pada gerbang SMA Satu Nusa. Dan di sini mereka akan berpisah karena arah mereka yang tak sama. Kara yang berjalan kaki karena rumahnya yang tak terlalu jauh dari SMA Satu Nusa, Enigma yang memakai kendaraan umum, dan Bhian yang membawa motornya sendiri.

Di setiap perjalanan, tak henti-hentinya Bhian tersenyum. Bhian sangat semangat sore ini. Ditemani dengan langit yang mulai menampakkan warna jingga tanda siang sudah berganti dengan sore.

Di tengah perjalanan, Bhian sempat berhenti sejenak untuk sekadar membeli martabak di pinggir jalan. Bukan apa, untuk merayakan keberhasilannya hari ini. Setelah pesanannya siap, Bhian kembali melanjutkan perjalanan pulangnya dengan gembira.

Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di rumahnya. Sekejap saja, ia sudah berada di depan rumahnya dan memarkirkan motornya. Bhian turun dari motor dan berjalan menuju rumahnya dengan senyum yang rekah dan kegembiraan yang tertera di wajahnya.

"Assalamualaikum, Bunda!" panggil Bhian dengan semangat yang membara.

Ia amati sekeliling rumah, namun tak didapatinya Saras. Bhian meletakkan tasnya di kursi dan berjalan menuju ruang kerja milik Saras. Dengan semangat ia masuk ruangan tersebut dan mendapati Saras tengah berada di singgasananya.

"Bunda! Bhian punya kabar baik," ucap Bhian secara langsung. Saras tetap mengamati layar laptopnya, wajahnya tampak serius. Mungkin pekerjaannya sedang menumpuk.

"Nanti aja, Bhian. Bunda lagi sibuk," jawab Saras. Namun, Bhian bersikukuh untuk memberi tahu Bundanya sekarang ini juga. Tak dapat ditunda-tunda lagi.

"Tapi ini penting Bunda."

"Bunda tau gak, Bhian berhasil! Bhian bisa dapet nilai 98 di mapel Fisika. Mapel yang susah banget! Keren gak?" ucap Bhian sembari bersedekap dada membang-gakan diri.

Kali ini saras tak terpaku dengan laptopnya. Fokusnya teralihkan ke anak pertamanya. Yang masih berdiri memegang kertas putih dan masih memasang wajah kegembiraan.

Saras menghembuskan nafas, "Keren? Yang ada bodoh namanya!" Bhian memgernyitkan dahinya tanda tak mengerti. Apa yang dimaksud Bundanya? Dirinya sudah berhasil bukan? Berhasil menaikkan nilai yang sempat wanita itu suruh.

"B-bodoh? Kenapa bodoh Bunda? Bhian udah berhasil naikin nilai Fisika," protes Bhian. Saras merebut kertas putih yang berada di tangan Bhian. Dan melihat nilai 98 yang tertera di atas kertas putih tersebut.

"Nilai 98 kata kamu berhasil? Bunda suruh kamu buat raih nilai sempurna, bukan 98! Pantas kamu dikasih gelar keren? Sedangkan nilai kamu masih begini? Kamu itu terlalu bodoh atau gimana?" cerca Saras.

Bhian hanya bisa tersenyum getir. Kobaran api yang membara di hatinya padam begitu saja. Ternyata benar, jangan senang terlalu berlebihan. Karena di depan sana pasti ada hal yang lebih mengejutkan lagi. Entah itu kesedihan atau kebahagiaan kembali.

"Bunda gak habis pikir sama kamu. Kamu belajar, ikut les, dan lain-lain selama ini dibawa ke mana, Bhian? Kamu mau bikin Bunda sama Ayah kecewa?" Bhian menggeleng. Bukan begitu, tapi itulah kapasitas otaknya.

"Kalau enggak, tunjukan kalau kamu bisa meraih nilai sempurna! Bukan 98! "

"Lihat anak sebelah, dia baru kelas 10 aja udah bisa menang berbagai perlombaan sampai tingkat nasional. Kamu? Kamu kapan bisa seperti itu? Membahagiakan Bunda sama Ayah?" lanjut Saras dengan lantang.

Bhian menunduk, memang ia belum bisa memba-hagiakan kedua orang tuanya dengan hal-hal mewah. Yang hanya ia bisa saat ini hanya menunjukan nilai-nilai bagusnya agar kedua orang tuanya senang dan tak malu memiliki anak seperti dirinya.

"Maaf Bunda, Bhian janji baut belajar lebih giat lagi dan naikin nilai Bhian," ucapnya sembari mengem-bangkan senyum yang jika dilihat dari sisi hatinya, itu adalah senyum kecewa.

Iya, Bhian kecewa. Yang Bhian inginkan adalah kata senang yang Bundanya tuturkan dengan penuh semangat. Bukan malah begini. Air terlalu cepat mema-damkan api yang berkobar di hati Bhian.

Lelaki itu akhirnya kembali ke kamarnya. Boleh tidak Bhian merasa lelah sejenak saja? Kenapa setiap kali dirinya merasa gembira akan sesuatu, hal yang di depan-nya menghancurkan kebahagiaan itu begitu saja.

Bhian merasa, semangatnya, nilai-nilai bagusnya sia-sia saja jika kedua orang tuanya tak merasa bangga akan prestasi yang ia raih. Untuk apa membanggakan diri jika tujuannya belum bisa tercapai?

Tuhan, asal kau tahu-pasti kau lebih tahu dulu-Bhian hanya menginginkan satu hal kali ini. Ia ingin kedua orang tuanya melirik usahanya selama ini untuk menu-ruti kemauan mereka. Dengan nilai-nilai sempurna.

Tapi mengapa di saat Bhian sudah mencapainya, mereka seolah-olah masih tak puas? Bhian lelah. Lelah dengan hidup seperti ini.

Bhian tak hanya butuh sosok kedua orang tuanya, melainkan juga sosok kasih sayang dari orang tuanya yang diberikan untuknya. Sebuah apresiasi yang ingin ia dengar walau hanya sekadar kata selamat. Tak harus dengan benda mewah.

Hanya itu Tuhan, tolong kabulkan untuk kali ini.

~𝐵𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑏𝑢𝑛𝑔~

Gesss gimana??
Ada evaluasi untuk bab ini kah?
Langsung tulis di komen yaa.
Sampai jumpa besok lagi, dadahh
Janlup tinggalin jejak, jangan jadi Silent Reader



Rainbow Over The Rain [END] [Tahap Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang