Apa jadinya jika dalam suatu keluarga hanya ada kata 'dingin' yang dapat menggambarkan kondisi keluarga tersebut? Itu akan menjadi hal yang tidak akan pernah orang mau dalam hidupnya bukan?
Lantas? Mengapa keluarga tiga bersaudara ini memilih hal t...
Ges, udah makan? Kalau belum makan dulu sana. Jangan nunggu ayang nyuruh makan baru mau makan.
Met baca met
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bagian 12:
Si Hoodie Hitam . . .
Isa berlari kencang di setiap jalan, apa pun ia lewati. Tak peduli orang-orang melihatnya dengan heran. Tenggorokannya sakit, dadanya sesak. Rasanya jika kejadian itu terulang lagi, tak dapat dipercaya.
Kepalanya terus memutar kalimat-kalimat tanya. Apakah benar? Apakah benar yang dikatakan Risa tadi? Gadis itu sedang tak memulai aksinya dengan cara menuduh kakaknya bukan? Isa membuka pagar besi rumahnya, memasuki rumah dengan air mata yang tak dapat gadis itu bendung. Dapat dilihat Aya kesal, karena Isa terlalu lama membeli garam. Tapi, rasa kesalnya itu beralih menjadi rasa bingung. Kenapa dengan adiknya? Tak pernah ia melihat Isa menangis di depannya.
Mata adiknya sembab, hidungnya merah, sudah tak bisa lagi disebut bahwa ia baik-baik saja. Matanya memancarkan kekecewaan, kecewa dengan apa yang baru saja ia tahu.
"Kenapa kamu? Mana garamnya?" ucap Aya. Namun, bukan garam yang Aya dapat dari adiknya. Melainkan sebuah kebenaran yang terlontar dari gadis tersebut. Isa sudah tahu.
"Aku selalu percaya, kak Aya adalah pelindung bagi aku. Tapi, kenapa aku harus denger suatu kebenaran? Kalau Kak Aya malah ikut-ikutan ngebully aku kemarin? Itu bukan kak Aya kan?"
Aya terdiam, rahasianya terbongkar. Topeng yang selama ini ia pakai telah terbuka. Seiring berjalannya waktu, apa yang seseorang rahasiakan atau mereka tutupi pasti akan diketahui juga oleh orang lain.
"Ayo kak jawab, bukan," ucap Isa. Isak tangisnya terdengar pilu, bagaimana bisa ia baik-baik saja setelah tahu bahwa anggota keluarganya ikut melakukan perundungan pada dirinya. Keluarga yang harusnya menjadi tempat memberi kasih dan sayang, malah ikut menoreh luka di tubuh yang telah rapuh.
"Iya." Naas, sebelum semesta mencegah hati gadis rapuh tersebut terluka. Pisau tajam dari jawaban Aya telah menusuk relung gadis tersebut. Ia tak salah dengar bukan? Kenapa hal seperti ini harus terjadi dalam kehidupannya?
Isa bahkan tak habis pikir, apa penyebabnya. Apa yang membuat semesta memberi masalah-masalah yang tak ada habisnya? Kenapa Tuhan memberi cobaan seperti ini? Bukannya Isa kurang bersyukur, tapi terkadang ia merasa bahwa dunia tak adil. Padanya, pada kedua kakaknya, pada keluarganya.
"Kenapa?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Isa. Dengan bergetar dan pilu yang menyelimuti. Terdengar helaan napas dari kakaknya, tak ada sedikit pun rasa iba. Seseorang yang telah diselimuti rasa marah, iri, dan kesal sulit untuk mengendalikan dirinya agar menerima dengan lapang dada. Mereka pikir, dengan cara membalas adalah salah satu jalan akhir. Padahal masih banyak sekali jalan-jalan yang lebih baik.
"Kenapa? Aku iri sama kamu bego! Kamu selalu dapat kasih sayang lebih dari Bunda sama Ayah. Selalu dibela saat kamu salah!" Jelas Aya, satu air mata membebaskan diri dari pelupuk matanya. Isa terdiam, apa yang ia tak mau sudah terjadi. Di mana akan ada banyak sekali rasa iri yang terbenam dalam diri kakak-kakaknya. Tentang dirinya yang lebih banyak mendapat perhatian dan kasih sayang. Isa juga merasa itu semua.
"Enak ya jadi kamu. Selalu aja dibanggakan, nggak pernah sekali aja dituntut buat jadi kak Bhian atau jadi orang yang lebih hebat. Aku juga mau ngerasain kasih sayang Ayah sama Bunda. Bukan cuma kamu!" ucap Aya dengan nada yang cukup tinggi. Isa paham, tapi kenapa harus seperti ini. Kenapa harus cara tersebut yang kakaknya ambil.
"Tapi bukan gini caranya kak. Aku juga sakit. Aku nggak mau ditindas setiap sekolah. Aku pengin sekolah dengan tenang, tanpa takut sama orang-orang di dalamnya-" ada jeda sejenak. Tenggorokannya tercekat karena menahan tangis.
"-aku nggak mau kasih tau kalian, karena aku takut kalian ikut sedih. Tapi, sepertinya aku salah ambil tindakan. Semakin aku nggak bicara soal ini, semakin kakak leluasa buat ikut bully aku. Dan semakin bikin aku sakit.
Setelah mengatakan hal itu, Isa segera berlari meninggalkan Aya. Hatinya sudah terlanjur kecewa. Maka, pada saat ini juga Isa bertekad untuk memberi tahu Bunda dan Ayahnya. Tak mau merasa terkecewakan kembali oleh keluarga ke sekian kalinya.
Bunda Tercinta 🤍
|Bunda, maaf. Isa selama ini bohong, Isa dibully sama teman Isa di sekolah. Mungkin mungkin Bunda nggak percaya, tapi kak Aya ada disalah satu dari orang yang rundung Isa. Aku selama ini takut Bunda, tapi Isa nggak berani kasih tahu. Maaf Bunda
Tak ada balasan dari Bundanya. Isa tak menyerah, ia ingin mendapat keadilan untuk dirinya. Maka, ia mengirimkan pesan yang sama pada Bhian dan Ayahnya. Dengan harapan, dirinya dapat diberi perlindungan. Seorang korban bullying pun juga muak jika selalu dirundung oleh pelaku.
Menunggu beberapa menit, akhirnya terdapat notifikasi dari kakaknya, Bhian. Harap ia dapat berlindung dibalik kakaknya.
Kak Bhian Hebat 🤍
|Kamu ngomong apa sih? Mana mungkin Aya melakukan hal kayak gitu. Kamu nggak udah ngarang cerita! Kakak tau sifat Aya sebelum kamu!
|Kak Bhian aku nggak bohong, kak Aya yang ngaku sendiri kalau dia ikut bully aku kemarin.
|Kemarin? Kemarin aja kamu baik-baik aja. Kamu kalau mau bikin cerita khayalan jangan dibawa ke dunia nyata, Isa! Nggak usah alay, kamu udah gede. Nggak usah belajar fitnah orang lain, apa lagi kakak kamu sendiri.
Setelahnya, Isa tak lagi membalas pesan dari Bhian. Rasanya hanya percuma saja jika pembahasan dilanjutkan. Kakaknya itu tak akan mempercayai ucapannya. Bhian lebih membela Aya, karena ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau, karena apa yang Aya rasakan juga dirasa oleh Bhian?
Entahlah, Isa pun tidak tahu. Ia bingung, kenapa di saat dirinya meminta perlindungan dari keluarganya, mereka selalu menghilang entah kemana? Bahkan, bukan lagi keluarga yang menjadi tempat pulangnya. Melainkan teman-teman yang selalu ada saat susah dan senang. Selalu memberi apresiasi dan support.
Sebenarnya, siapa keluarganya di sini? Kedua orang tua dan saudaranya atau teman-temannya? Mungkin saudara dan kedua orang tuanya memang keluarganya sedari kecil, tapi kehangatan dan peran sebagai tempat pulang telah hilang ditelan dinginnya sikap mereka.
𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐛𝐮𝐧𝐠....
Ya, begitulah.
Semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya. Kalian hebat hebat dan keren ❤️🔥.