05 - Kunjungan Dadakan

289 36 4
                                    

"Kamu udah mandi belum, sih? Kucel banget."

Pandangan Karin segera tertuju pada sumber suara, sedikit menatap sinis pada wanita berumur setengah abad lebih itu.

"Selamat pagi juga Mamaku Sayang," ucap Karin dengan senyuman manis yang segera hilang bersamaan dengan berakhirnya sapaan barusan. "Harusnya tuh ucapin selamat pagi dulu, Ma. Jangan langsung nyindir anak gadisnya di pagi hari yang cerah ini."

"Kamu juga barusan nyindir Mama karena gak ngucapin selamat pagi."

Biar bagaimana pun, buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.

"Udah sana mandi dulu, udah mau jam sebelas, loh."

Karin melirik jam yang tergantung di atas televisi. "Mam, mumpung libur. Aku mau mandi sore aja."

"Biarin aja, Ma. Nanti Mas Adjie pasti langsung sadar dan menyesal mau nikah sama Kakak."

Lagi, Karin tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menatap sinis si pemilik suara yang baru saja menuruni tangga dengan pakaian rapihnya.

"Apa sih bawa-bawa Adjie?"

"Mas!" Sergah ibunya membenarkan. "Yang sopan dikit sama calon suami."

Karin sadar betul bahwa lawan bicarannya sekarang bukanlah lawan yang seimbang, jadi daripada mendapat cap anak durhaka, lebih baik ia menurut.

"Iya, apa sih bawa-bawa Mas Adjie?" ulangnya dengan nada yang lebih pelan, takut jika ibunya akan mengamuk kalau ia salah lagi.

Sang ibu hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan anak perempuannya, "udah sana cepet siap-siap. Mereka sampe dan liat kamu belum mandi tuh Mama yang malu."

"Siapa mau ke sini?"

"Loh, Adjie gak ngasih tau kamu?"

Karin menggeleng dengan penuh tenaga, ia juga mengambil ponselnya yang sedari tadi terselip di sofa dan mengecek ruang obrolan mereka pada aplikasi pesan bawaan ponselnya. Menggulirkan layar untuk menemukan informasi yang ia cari, siapa tau ia ada lupa baca. Mereka memang memiliki janji bertemu, tapi bukan di pagi ini.

"Gak ada loh, Ma. Ngapain Mas Adjie ke sini? Mama yang suruh?" tuduh Karin menyeledik.

Memilih untuk tidak menjawab, Rissa kembali mendesak anaknya untuk segera mandi dan bersiap-siap. Jelas yang didesak hanya bisa pasrah tanpa memprotes.

Sambil berjalan kembali ke kamarnya, Karin mengirimi pesan kepada Adjie. Menanyakan kebenaran terkait kedatangannya. Sebab sebelum mengirim pesan, Karin sudah berusaha mencari pesan yang menyinggung perihal kedatangannya siang ini namun tidak bisa ditemukannya.

Padahal sejam lalu mereka masih melakukan panggilan telepon, menanyakan aktivitas apa yang akan dilakukan hari ini. Mengecek jika ada jadwal kosong di waktu yang bersamaan, maka Adjie akan mengajukan permohonan melakukan aktivitas bersama—kencan di akhir pekan.

Karin mengatakan kalau hari ini dia tidak ada kegiatan apapun, begitu juga dengan Adjie. Jadi mereka bersepakat untuk kencan di sore hari.

Setelah selesai bersiap-siap, Karin kembali turun menuju ruang tamu. Ia tidak mau bermalas-malasan hingga ibunya harus berteriak memanggil namanya.

Ini akhir pekan, jadi, mari hindari perang.

Samar-samar Karin bisa mendengar suara orang mengobrol dan beberapa suara asing yang tertangkap telinganya. Dengan rasa penasaran ia segera mempercepat lajunya menuruni tangga.

Sesampainya di ujung tangga, Karin bisa melihat ibunya yang tengah bercengkrama dengan wanita lain yang sudah dikenalnya dan ditemuinya beberapa kali itu. Bahkan sebelum ia bertemu lelaki yang sedang menjabat tangan ayahnya.

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang