10 - Dokter Residen Nyebelin

211 31 3
                                    

Memang harusnya sebelum mengucapkan ultimatum tersebut, Karin bersekongkol dengan ibunya untuk tidak mengizinkannya pergi. Karena tidak ada persekongkolan, maka sudah jelas ibunya akan mengizinkannya pergi menemani Adjie.

"Kamu gak harus ada di sebelah aku terus kok, karena udah mau ikut, sebagai hadiahnya aku memperbolehkan kamu hanya lima belas menit aja ada di dalam ruangan. Kalo setelah itu kamu mau keluar dan cari udara segara, boleh banget."

Nyatanya, lingkungan asing yang Karin temui ini terpaksa membuat Karin tidak pernah meninggalkan sisi Adjie dan tidak mau melepaskan genggaman tangan mereka. Adjie terus diekori oleh Karin yang terlihat seperti anak hilang yang baru saja diselamatkan.

Bahkan saat bertemu kolega Adjie dan memperkenalkan Karin, wanita itu akan menyambut uluran tangan lawan bicaranya dengan tangan kanannya selagi tangan kirinya menggantikan kekosongan genggaman tangan Adjie.

"Kaya anak hilang," bisik Adjie menahan tawanya setelah mereka bertukar cakap dengan salah satu Direktur Rumah Sakit.

"Aku emang mulai terbiasa bergaul dengan orangtua, tapi masih level bapak-bapak aja, Mas. Belum sampe level atasnya lagi. Bingung basa-basinya."

Karin memang sangat halus dalam menggunakan perumpaan, ia sebenarnya ingin berkata jujur kalau kolega kerja Adjie bahkan lebih tua dari ayahnya tapi takut jikalau salah satu dari mereka mendengar dan tersinggung.

"Gak apa, belajar adaptasi."

Rasanya Karin ingin merengek minta dipulangkan. Namun sisi lain dari dirinya mengingatkan bahwa ia harus bertingkah sesuai umur. Hanya saja, bagi Karin ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan perilaku wanita berumur 28 tahun, ia lebih ingin menunjukkan sisi gadis kecil berumur 5 tahun.

Saking gemasnya dengan situasi sekarang dan keterbatasannya untuk bisa kabur, Karin rasanya ingin sekali memakan hidup-hidup lelaki yang sedari tadi mencoba memberikan kata-kata motivasi untuknya.

Tidak ada yang berhasil satupun.

"Pokoknya jangan tinggalin aku. Nanti aku tantrum," tutur Karin yang terdengar seperti permohonan. "Ya, kecuali kalo Mas harus kasih materi. Nanti aku duduk anteng di bagian paling belakang aja." Karin menekankan kata paling untuk menggambarkan bagaimana dia akan mengasingkan dirinya untuk bertahan hidup tanpa Adjie.

Pada saat seperti ini, kalau ada lomba siapa yang paling lebay antara Leya dan Karin, jelas secara sukarela Leya akan memberikan tempat pertama pada Karin.

"Iya, be good. Nanti Mas kasih hadiah."

Bahkan Adjie seperti memberi makan ego gadis kecil yang sedari tadi meronta ingin mendominasi di dalam tubuh Karin.

"Harus sebanding, ya?" Tanya Karin memastikan kalau perjuangan dan jerih lelahnya ini akan menghasilkan sesuatu yang sebanding.

"Iya, Sayang," sahut Adjie mengelus rambut Karin lembut.

Karin kecil yang berada dalam sanubari terdalam Karin meloncat bahagia atas aksi Adjie barusan. Kalimat meyakinkan Adjie barusan juga berhasil membuat Karin besar merasa puas dan mengunci mulutnya rapat.

Selanjutnya, Karin benar-benar berusaha keras untuk beradaptasi dengan baik. Entah karena tidak sabar mendapatkan hadiah atau karena ia mulai yakin dengan kemampuan dirinya yang terpendam.

Mereka sampai di Hotel ini tepat saat waktu lunch break, sehingga untuk menunggu hingga ke sesi dimana Adjie menyampaikan presentasinya tidak terlalu lama. Karena memang pada susunan acara, Adjie akan bertanggung jawab untuk sesi setelah makam siang.

Seperti ucapannya tadi, Karin benar-benar mengambil posisi duduk pada kursi paling pojok belakang yang menempel dengan tembok aula. Kursi yang sebenarnya disediakan untuk panitia lapangan beristirahat. Tapi karena tadi Karin tidak melihat ada jejak dari pemilik kursi yang sengaja ditinggalkan, maka dengan sigap Karin menduduki kursi tersebut.

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang