01 - Fakir Pengalaman Kencan

587 59 1
                                    

"Terus kapan bisa mulai ciumannya?"

Karin menirukan pertanyaan yang semalam Adjie lontarkan sebagai penutup laporan ceritanya pada sahabatnya tercinta yang sedari tadi cukup aktif memberikan respon, walau kadang berlebihan.

"Sinting, tiba-tiba nanya gitu," komen Leya sambil terkekeh. "Apa karena usia juga ya, Rin? Bercandanya jadi mesum."

Gadis yang ditanya itu menggedikan bahunya, ia juga tidak tahu jawaban pastinya. Pun, pertanyaan Adjie kemarin juga ia anggap sebagai candaan omong kosong. Jadi Karin tidak menseriuskannya, ia malah merespon dengan memamerkan kepalan tangannya seperti sudah siap memberikan pukulan. Yang mana membuat Adjie semakin ketawa geli.

Karin Ayudisa Thamadi, gadis itu tumbuh di keluarga yang sangat menjunjung tinggi adab dan tata krama tentu saja tidak familiar dengan candaan menjurus seperti itu, tapi setelah bekerja, bertemu banyak orang baru membuat Karin sadar kalau selama dua puluh tiga tahun kebelakang ia hidup di dunia yang berbeda.

Ia baru tahu bahwa dunia yang sebenarnya tidak seperti apa yang ia bayangkan. Kerasnya persaingan kerja antar sesama. Mengorbankan pertemanan demi mendapatkan promosi jabatan. Kehidupan malam yang sudah menjadi sahabat mereka yang mencari pengalihan untuk stress yang dirasakan. Bahkan, perselingkuhan antar rekan kerja yang seperti sudah dinormalisasikan.

Untuk perihal terakhir adalah sesuatu yang sudah tidak bisa Karin tolerir. Karena salah satu prinsip utama dalam hidupnya adalah mempertanggungjawabkan keputusan yang sudah diambil.

Jika sudah memutuskan mengambil komitmen terlebih dalam pernikahan, maka seharusnya sudah siap dengan segala konsekuensinya, kan?

Entah itu rasa bosan yang muncul setelah semakin lama bersama, hal yang tiba-tiba baru terlihat dari pasangan dan kita tidak sukai, perubahan cara berpikir yang menghasilkan ketidakcocokan. Serta banyak hambatan dan rintangan lain yang bisa jadi kemungkinan, Karin percaya, kalau mereka memiliki rasa tanggungjawab karena sudah memutuskan berkomitmen, maka apapun masalahnya akan bisa terselesaikan. Baik diselesaikan berdua atau bahkan memerlukan bantuan mediator pun tidak masalah.

Karena yang penting, tanggungjawabnya.

Perasaan akan hilang seiring berjalannya waktu, namun komitmen yang ada lah yang bisa tetap menyatukan.

Itu sebabnya, Karin sangat benci orang yang melanggar komitmennya sendiri. Terlebih jika itu pria, karena katanya pria sejati yang dipegang itu janjinya.

"So, what's next? Udah milih WO? Oemji! Kapan lo fitting? Eh, gue dapet seragam, kan? Mau tema apa, Rin? Yang putih-putih gitu bagus deh, elegan. Eh, tapi lo kan suka aneh-aneh, yang penting jangan hitam ya, Rin?"

Mendengar rentetan pertanyaan dari Leya, gadis itu segera beringsut dan memandang Leya penuh permohonan supaya ia segera menyelesaikan sesi lempar pertanyaannya itu. Sebenarnya, Karin lebih ingin menyumpal mulut Leya. Hanya saja ia belum siap menerima surat penangkapan perihal melakukan kekerasan.

"Ley, baru kemarin juga ketok palunya. Gue yang mau nikah tapi malah lo yang gak sabar,"

Yang disindir nyaris mengeluarkan suara melengking sebagai bentuk protes kalau saja ia tidak sadar diri dengan tempatnya berada sekarang. "How can i, Rin? Karina Ayudisa Thamadi dan pernikahan, loh, that we are talking about."

Jika bukan karena sudah bertahun-tahun mengenal Leya, Karin bisa saja menganggap gadis itu gila karena ekspresi dan respon berlebihan yang sering ia berikan.

"Sama aja kayak lagi ngomongin nanem jambu yang berbuah nangka, mustahil!"

Karin bukannya berkata tidak mau menikah sama sekali, hanya saja karena pengalaman pacarannya yang nol besar sehingga ia berpikir bahwa kemungkinan dirinya bisa menikah itu kecil sekali.

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang