"Kita gak lagi nyebrang, gak lagi jalan juga. Emang perlu banget ya pegangan tangan gini, Mas?"
Adjie mengangguk yakin. "I love holding hands. Especially yours."
"Mulai," ledek Karin.
"Biar kamu gak bisa kabur. Aku udah tua, Rin. Kalo kamu kabur, capek ngejarnya."
Gemas.
Karin berusaha untuk tidak mencubit pipi Adjie dengan gemas karena kelakuan laki-laki yang sedang berdiri di sebelahnya ini memang benar-benar menggemaskan.
Oh, no. Sejak kapan?
"Udah berapa kali kejadian gini, Mas?" Karin bertanya mencoba mengalihkan topik supaya pipinya tidak semakin merah dan terlihat oleh Adjie.
Adjie menatap langit-langit Lobi Mal yang cukup tinggi ini. Otaknya sedang mengumpulkan peristiwa serupa yang pernah terjadi selagi bibirnya bergunam pelan mencoba untuk menghitung.
Karin yang menyaksikan usaha Adjie untuk menjawab pertanyaannya segera menghentikan. "Udah gak usah dipaksain, Mas. Kayaknya sering ya, sampe lama banget mikirnya."
Lelaki itu menurunkan pandangannya untuk ia lekatkan pada gadisnya. Tiba-tiba saja ia terpikirkan satu hal yang cukup mengganjal.
Percakapan di Resto Ramen tempo hari.
"Kamu gak ilfeel karena aku lupaan gini, kan?"
Karin terkekeh sambil menggendikan kedua bahunya. "Mau gimana lagi? Namanya umur."
Rasanya Adjie mau mengumpat pada dirinya sendiri karena sudah mencemaskan hal yang tidak perlu.
"Udah boleh ciuman belum sih? Abis gemes banget sama kamu."
Jika Karin tidak salah ingat, normalnya respon seseorang ketika merasa gemas adalah mencubit subjeknya. Sejak kapan berubah menjadi mencium?
"Aku kalo gemes sama bayi suka nyium bayinya. Cium gemas." Seperti mengerti isi pikiran Karin, Adjie mencoba mengklarifikasi pernyataannya barusan.
"Aku bukan bayi."
"Bayi gede aku."
Plak.
Bunyi renyah itu berasal dari tangan kiri Karin yang mendarat dengan sempurna di lengan Adjie.
"Geli."
"Ini kekerasan dalam rumah tangga banget, Rin." Respon Adjie selagi ia mengelus kasar lengannya. Mencoba meredam rasa perih yang baru saja ia terima.
"Makanya jangan aneh-aneh deh."
"Siapa yang aneh-aneh? Emang salah?"
"Salah."
Melihat tatapan maut yang Karin berikan, Adjie hanya bisa tersenyum lebar dengan ekspresi seperti sedang tertangkap basah.
Maju salah, mundur apalagi. Cara yang manjur yang bisa dilakukan hanya meminta pengampunan pada wanita yang kini sudah melepaskan tangannya dari genggaman yang Adjie buat selama mereka berkeliling Mal.
"Sorry, sayang," ucapnya dengan nada yang lemah. Takut jika ia menaikkan setengah nada saja, Karin bisa mengamuk.
Yang Adjie tidak ketahui adalah kondisi perut Karin yang rasanya hampir mau meledak mendengar kalimatnya barusan. Padahal hanya terdiri dari dua kata, namun anehnya memberikan efek yang luar biasa pada Karin.
Normal gak sih?
Rasanya, semenjak bertemu dengan Adjie dan mempersilakan lelaki itu mengambil peran penting dalam hidupnya, Karin mulai sulit membedakan mana hal yang normal terjadi dan dilakukan serta mana yang tidak normal. Semuanya hampir terlihat sama. Seperti, sudah sewajarnya saja terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Normalnya, Ini Tidak Normal.
RomansaNormalnya, perjodohan adalah hal yang paling dihindari. Siapa juga yang suka diatur hidupnya? Terlebih dalam hal memilih pasangan hidup. Seseorang yang akan menemani kita seumur hidup. Maka dari itu, harus teliti dalam hal menyeleksi. Tapi bagi Kari...