12 - Tetap Berakal Walaupun Lapar

198 25 2
                                    

Wanita itu menolak untuk menjawab langsung pertanyaan Adjie. Ia membalas tatapan Adjie dengan penuh selidik. Memindai lelaki yang terasa semakin asing itu dari ujung kepalanya hingga telapak kaki yang beralaskan sandal Hotel berwarna padu hitam dan emas itu.

Otaknya mencoba bekerja untuk memberikan pilihan tentang apa saja respon yang Karin bisa berikan akan pertanyaan penuh tuduhan Adjie barusan.

"Tergantung."

"Apanya?" Tanya Adjie penuh rasa penasaran.

"Tergantung bagaimana ceritanya, kisahnya, apa saja yang terjadi. Itu akan menjadi masalah kalau ternyata yang terjadi diluar asumsi dan kemungkinan yang aku sempet pikirin."

Dengan angkuh Adjie mengangkat dagunya, "tapi kamu harus inget kalo gak ada langkah mundur apalagi kabur dalam hubungan ini."

"Aku tuh berasa terikat perjanjian sama iblis tau, gak?"

"Ya, you never know, Darling. Apa kita bisa sepenuhnya percaya dengan pilihan kedua orangtua kita atau enggak. Iya, kan?"

Karin menyeringai, ia bangkit berdiri dan berjalan perlahan menghampiri Adjie. "Agree, Darling. Berlaku untuk aku, berlaku untuk Mas juga."

Adjie bergeming dengan kalimat dan aksi penuh provokasi dari Karin. Semakin Karin melangkah mendekat, semakin Adjie penasaran dengan tindakan selanjutnya yang akan wanita itu lakukan.

"Aku gak bisa percaya Mama dan Papa yang udah milih Mas Adjie jadi calonku karena menurut mereka bibit, bebet dan bobot Mas sudah lulus Quality Control," Karin semakin memakan habis jarak antara mereka. Kini, kakinya berhenti dan menyisakan jarak sejengkal dari kaki Adjie. "Gitu juga sebaliknya, Mas Adjie gak bisa percaya Tante Gina dan Om Bambang gitu aja kalau aku adalah gadis baik-baik, lugu dan naif."

Setelah mengakhiri kalimatnya, Karin memberikan senyuman yang memperlihatkan ketulusannya. Seolah-olah apa yang baru saja ia ucapkan memang berasal dari hatinya yang terdalam.

Setengah benar, setengah lagi juga tidak benar.

Karin menggigit bibir bawahnya untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Bicara soal berakting terlihat menjadi si paling kuat, Karin juaranya. Tapi tatapan yang Adjie berikan benar-benar tidak biasa. Hal yang bisa dan normal terjadi jika efek dari tatapannya membuat Karin ragu dengan provokasinya barusan.

Jika Karin tidak salah mengartikan, tatapan Adjie terlihat lapar.

Kali ini, untuk keselamatan dirinya, Karin tidak masalah kalau harus kalah dalam medan perang yang mereka berdua ciptakan. Lagi pula, entah sejak kapan ego mereka saling bergesekan sehingga tidak mau kalah satu sama lain. Mencoba menjadi si paling kuat dalam hubungan ini.

Jelas itu bukan peran Karin dalam hubungan ini. Ia harus menjadi pengingat dan penolong pasangannya. Bukan terbawa suasana dan mengikuti cara bermainnya. Karin yakin, jika ada sesuatu yang salah maka harus dibenarkan dan bukan malah makin memperkeruh keadaan dengan membuat kesalahan lainnya.

Karin melangkah mundur. Melepaskan kaitan kedua tangannya di depan dada. "Tapi, tenang aja. Untuk pe— aaah!" Teriakan Karin disertai dengan kedua tangannya yang menahan tubuh Adjie untuk mendekatinya. Atau lebih terlihat seperti ingin menerkamnya.

Beneran laper?

"Mas Adjie, stop!"

Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Adjie tidak menuruti permintaan Karin. Dengan tenaga yang jelas lebih besar dari wanita itu, Adjie tetap menerobos pertahanan Karin. Kali ini mulai terdengar tawa yang keluar dari mulut Adjie.

Karin yang tidak kuat menahan tubuh Adjie dengan sigap memindahkan kedua telapak tangannya untuk membungkam mulut Adjie selagi lelaki itu berhasil merengkuh tubuhnya dan menyandera Karin dalam pelukannya.

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang