00 - Normalnya, ini tidak normal.

1.1K 75 2
                                    

Jika normalnya pada cuaca dingin, minuman hangat paling pas untuk dinikmati. Tapi kali ini, gadis itu tetap memesan Es Kopi. Dan lelaki yang sedang menatapnya cukup intens dari seberang meja pun tidak bisa menemukan alasan logis dibalik hal itu.

Suasana Kafe pada hari senin malam tentu saja tidak seramai jika di akhir pekan, karena normalnya orang-orang akan menghindari mampir di hari kerja, terlebih setelah jam kerja.

Ini senin yang sedang kita bicarakan. Hari kerja pertama setelah menikmati dua hari libur. Masih ada empat hari lagi sampai menuju akhir pekan, jadi normalnya dipakai untuk beristirahat supaya energi yang terkuras kembali terisi sehingga besok bisa dilewati dengan suasana hati yang cukup baik.

Adjie Dwiseno.

Namanya terukir pada sebuah nametag yang terletak di atas meja. Sebuah benda yang sudah lebih dari dua puluh menit Karin pandangi. Gadis yang memesan Es Kopi itu masih belum bisa mengalihkan pandangannya, berharap benda kecil berwarna hitam itu bisa berbicara dan memberikannya jawaban yang sangat ia butuhkan sekarang.

Pun bagi Adjie, menunggu jawaban itu keluar dari mulut Karin walaupun waktu sudah berjalan dua puluh menit sejak pertanyaannya terlontar, ia masih diam tanpa protes. Adjie paham betul bahwa jawaban atas pertanyaanya tidak mudah untuk dijawab, karena normalnya, membutuhkan waktu beberapa hari untuk menimbang. Tapi, dua manusia yang sedang terlarut dengan pikirannya masing-masing ini paham betul, kalau tidak bisa menunggu hari esok untuk memutuskan.

"Jadi, kamu mau nikah sama aku?"

Karin tahu kalau pertanyaan itu akan terlontar, biar bagaimana pun ia bisa menebak jika topik utama pertemuannya dengan Adjie hari ini memang untuk memutuskan mau dibawa kemana jalan cerita mereka berdua.

Dua puluh lima menit,

Tiga puluh menit,

Tiga puluh lima menit,

Empat puluh tiga menit berlalu.

Gadis itu memejamkan matanya seperti mencoba untuk mengumpulkan keberanian sebelum ia akhirnya siap untuk memberikan jawaban,

"Ya udah, aku mau."

Tepat setelah ia membuka matanya kembali, Adjie mengatur ulang posisi duduknya, kali ini ia mencondongkan tubuhnya ke arah Karin yang berada di depannya. Siapa tau jika lebih dekat, apa yang barusan Adjie dengar akan lebih jelas.

Dan seperti tau maksud dari pergerakan lelaki itu, Karin mengulang kembali kalimatnya. Kali ini lebih tegas, "iya, aku mau nikah sama kamu."

Normalnya, ketika kalimat sakti itu terucap dari mulut sang wanita, lingkungan sekitar mereka akan bersorak dan bergembira bersama karena lamaran sang pria akhirnya terbalaskan dengan baik. Tapi siapa juga mau memberikan dukungan berupa sorakan gembira untuk dua manusia ini?

Hanya ada mereka berdua dan barista yang terlihat mulai sibuk membersihkan mesin kopi karena sebentar lagi Kafe akan tutup.

"Dengan segala keadaan?"

Karin mengangguk.

"Dan konsekuensinya?"

Lagi, ia memberikan anggukan.

"Bahkan latar belakang aku?"

Kali ini disertai helaan napas dari Karin sebelum akhirnya ia bersuara kembali, "ini kamu emang berharap aku tolak atau gimana, sih?" cibirnya sedikit kesal.

Adjie hanya terkekeh, ia menggelengkan kepalanya tidak percaya. Satu sudut bibirnya terangkat.

Rasanya seperti menang lotre.

Ketiban durian runtuh.

"Aku udah kunci jawaban kamu ya, Rin. Gak boleh berubah lagi, loh."

Karin menegak minumannya yang sudah tidak terlihat lagi ada es batu di dalamnya. Ia bahkan baru sadar kalau waktu berjalan sudah sejauh itu. "Kamu pikir ini lagi main kuis?"

"Kind of. Aku ngerasa kayak abis menang undian," balas Adjie yang terlihat tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "In a very, very, very good way."

Melihat dahi Karin yang berkerut, Adjie segera mengklarifikasi maksud kalimatnya. Bukan menganggap Karin sebagai hadiah kuis, tapi bisa merasakan perutnya yang terasa seperti dikocok. Juga jantungnya yang memiliki irama cukup liar hingga bisa membuatnya tersenyum adalah sesuatu yang akhirnya bisa ia rasakan kembali setelah hampir tujuh tahun.

Untuk kali pertama dalam tujuh tahun, Adjie merasa kembali menjadi manusia normal.

"Tapi kamu juga harus siap dengan semua tuntutan dari aku."

"Contohnya?"

"Aku sangat menentang perselingkuhan, so, if i caught you cheating on me then it is the end of us. Gak akan ada kata ampun apalagi kesempatan kedua. Ngimpi."

Adjie menelan ludahnya sendiri. Kalimat barusan terdengar seperti ancaman paling menakutkan yang pernah ia temui selama hidup. Walaupun ia juga memiliki prinsip yang sama dengan Karin, tapi barusan gadis itu terlihat sangat menakutkan tanpa ia sadari. "I-iya, aku juga setuju."

"Ya udah, itu aja yang paling penting dan utama. Selebihnya nyusul nanti, seberjalannya waktu."

Tanpa sadar, keduanya mengangguk dalam waktu yang bersamaan. Seperti menyetujui bahwa mulai saat ini, mereka sepakat untuk bersama-sama memasuki fase baru dalam kehidupan mereka. Juga sepakat untuk mulai melibatkan satu sama lain dalam fase baru ini.

"Terus kapan bisa mulai ciumannya?"

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang