11 - Perjanjian dengan Iblis?

166 20 0
                                    

Karin memang sudah 28 tahun hidup di dunia ini, normalnya dengan waktu yang tidak sedikit itu, ia sudah cukup mandiri untuk mengambil keputusan genting dalam hidupnya. Tapi untuk hal itu, Karin benar-benar tidak bisa membantu Adjie untuk memutuskan. Dengan santai Karin membalas pertanyaan Adjie dengan mengangkat kedua bahunya.

Bagi wanita itu, bahasa tubuhnya barusan berarti ia tidak tahu harus menolak dengan kalimat seperti apa supaya tidak terdengar kasar. Namun bagi Adjie, itu artinya Karin tidak masalah jika harus menerima tawaran satu kamar kosong yang disediakan.

"Ya sudah deh, Prof. Oke."

Kalimat Adjie barusan membuat Karin terkejut namun berusaha ia sembunyikan karena tidak ingin Dahlan berpikir kalau dirinya tidak sopan. Tepat setelah Dahlan menjabat tangan Adjie tanda kesepakatan telat dibuat, beliau pamit untuk kembali ke aula.

"Mas! Maksud aku gak tau, kok tiba-tiba kamu kira aku setuju?" Protes Karin memendam keinginan untuk menyiram kepala Adjie dengan kopi panas yang ada di tangannya.

Adjie ikut terkejut, "kok bisa? Bukannya maksud kamu oke aja?"

"Dari mana oke?"

Adjie menirukan apa yang Karin lakukan beberapa saat lalu, bahasa tubuh yang salah ia artikan itu. "Yaudah, terserah." Jelasnya mencoba menerjemahkan maksud menggendikan bahu Karin barusan.

Wanita itu mengerang frustasi, ia segera merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya. Mengetikan sesuatu lalu memberikan ponselnya pada Adjie.

"Tanggung jawab, kamu yang ngomong ke Mama."

"Mama aku?" Tanya Adjie sambil mengecek layar ponsel Karin untuk memastikan. "Oh, Tante Rissa."

"Iyalah, kamu kemarin, kan, izin buat pulang di hari yang sama. Bukan nginep."

Adjie mengangguk mengerti dengan penjelasan Karin. Ia menghela napas panjang dan menghembuskannya, mengumpulkan keberanian untuk kembali meminta izin pada sang calon mertua.

Tanpa menggunakan pengeras suara, Adjie mulai menyapa Rissa yang sudah mengangkat panggilan dari anaknya. Melangkah sedikit menjauh dari Karin, ia menjelaskan permasalahan yang sedang terjadi dan kesalahannya mengartikan bahasa tubuh Karin. Tanpa meminta solusi, Adjie lebih fokus untuk meminta maaf atas kekeliruan dan kesalahannya. Karin tidak tahu apa yang ibunya sampaikan, tapi terjadi jeda cukup lama sampai akhirnya Adjie menyahut kembali.

"Iya, Tante. Tenang aja, Adjie pasti inget. Iya. Oke, Tan. Siap. Thank you, Tante Rissa."

Dengan begitu, Adjie kembali berjalan mendekat ke arah Karin. Mengembalikan ponsel miliknya dengan senyuman cerah penuh kegembiraan dan kemenangan.

"Gak masalah, tuh," pamer Adjie dengan dada yang sedikit dibusungkan karena merasa bangga pada dirinya sendiri yang kembali berhasil mendapatkan izin dari Rissa. "Katanya yang penting diinget kalo belum muhrim, sisanya atur jo."

Karin mengerutkan dahinya heran karena lagi, Adjie kembali lolos menghadapi ujian untuk mendapatkan izin. Tapi ia juga tidak terlalu kaget karena apa yang Adjie sampaikan memang tipikal ibunya.

Apapun yang terjadi, tetap mengingatkan untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar perintah agama.

Ingin merengek untuk tetap pulang pun Karin sadar kalau itu tidak akan berhasil. Jadi, ia hanya akan terus mengingatkan kalimat yang ibunya sampaikan kalau mereka berdua belum muhrimnya sehingga tidak boleh melakukan kegiatan yang melanggar perintah Tuhan.



Seperti tidak ada habisnya, krisis baru kembali mereka temui.

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang