19 - Anak Hilang

76 11 1
                                    

Mendengar suara ramai dari lantai satu rumahnya dan panggilan dari ibunya, Karin segera meluncur menuju sumber keramaian. Dilihatnya kedua orangtuanya sedang bercengkrama dengan Tante Gina dan Om Bambang. Di belakang mereka ada Gamma yang baru saja menerima paper bag putih dari Adjie.

"Aduh, Mantu," sapa Gina setelah menyadari kehadiran Karin. Ia memberikan ciuman pada pipi kanan dan kiri Karin. "Kamu lagi sakit, ya, Neng? Udah enakan belum?"

"Udah lebih baik, Tante," sahutnya sambil menyengir dan lanjut memberi salam pada Bambang. "Halo, Om."

Adjie yang berdiri tepat dibelakang ayahnya itu sudah mengambil ancang-ancang untuk menyapa kekasihnya. Gamma yang menyadari itu segera menyingkir berusaha tidak terlibat ataupun menjadi saksi mata kisah cinta penuh kebucinan kakaknya dengan calon makak iparnya itu.

"Hai, Sayang," bisik Adjie segera memeluk pinggang Karin dengan satu tangannya. "All good?" Tanya Adjie basa-basi sebelum akhirnya memberikan kecupan kilat pada pipi kanan Karin.

Kedua orangtua mereka yang menyaksikan hanya bisa tersenyum lega melihat perasaan kedua anaknya yang sudah bertumbuh satu sama lain.

Karin mengangguk sambil melepaskan pelukan mereka. "Terimakasih sudah pulang dengan selamat."

Entah mendapat ilham darimana sehingga Karin bisa mengucapkan kalimat itu, yang jelas pipi Adjie nyaris memerah.

"Kalian lanjut deh kangen-kangenan," ledek Rissa lalu tangannya menggandeng lengan calon besannya. "Kita mending masuk aja, yuk, ngobrol di dalem."

Adjie yang masih merangkul pinggang Karin hanya bisa merespon dengan memberikan senyuman, kalau diartikan mengandung makna 'terimakasih atas pengertiannya'.

Dengan kepergian kedua orang tua mereka, Karin menyarankan untuk duduk di kursi yang ada di teras depan.

"Gimana kesan dan pesan setelah LDR?" Tanya Adjie tepat setelah mendaratkan dirinya pada kursi kayu jati yang berada di teras.

"Jangan sering-sering, soalnya aku gak suka nahan kangen."

Adjie tersenyum penuh kemenangan. "Aku juga gak suka, sih. Soalnya sukanya kamu."

Selama empat hari perjalanan dinas ke benua lain, komunikasi mereka tetap berjalan dengan baik walaupun intesitasnya berkurang karena perbedaan zona waktu. Biar hanya sejam, mereka saling menyempatkan waktu untuk melakukan panggilan video. Dan selama satu jam itu tentu saja Adjie tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus melempar gombalan mautnya—bagi dia. Tapi rasanya memang beda ketika mendengarnya langsung. Keinginan Karin untuk protes lebih meningkat.

"Gak berubah, ya?" komentar Karin. "Abis ini jadi pergi?"

"Kencan."

"Apa?"

"Bukan pergi tapi kencan," jelas Adjie membenarkan penggunaan kata Karin barusan.

Bener-bener gak mau rugi.

"Ya, kan kita kencannya pergi. Emang mau di rumah aja?" Karin tentu saja tidak mau kalah.

Dengan alasan mulai merasa nyaman, Karin pun tidak terlalu membatasi dirinya dalam bertingkah laku, ia juga mulai merasa percaya diri menunjukkan sifatnya pada lelaki yang akan menjadi suaminya ini.

"Aku mah apa aja jadi, Rin. Asal sama kamu."

Karin menghembuskan napasnya panjang, "kamu tuh kalo gak gombal sehari aja bisa dehidrasi, kah?"

"Enggak," jawab Adjie singkat sambil menggelengkan kepalanya. Terdengar suara tawa yang cukup lepas. "Tapi kalo sehari aja gak bikin kamu kesel, hidupku kayak ada yang kurang."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 12 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang