13 - Bapak Manajer

171 21 2
                                    

"Gimana bulan madu?"

Karin yang sedang memijat lehernya segera memberikan tatapan penuh sindiran pada si empu pertanyaan tersebut. "Sinting."

"Sensi banget, Neng. Gak jadi ya? Masih bisa dateng bulan soalnya."

"Leya sinting!" Desis Karin menahan dirinya untuk berteriak. Ia juga memukul sahabatnya itu dengan map plastik berisi dokumen yang perlu diproses. "Mulut lo tuh bener-bener enteng banget."

Yang diomeli hanya bisa cengengesan dan mengambil kursi kerja milik kubikel sebelah Karin. "Yaudah, cerita dong. Apa aja yang terjadi?"

Karin kembali menatap Leya sinis. "Yang jelas, apa yang ada di otak lu itu gak kejadian. Heran, punya otak kok kotor banget. Sapu!"

"Gampang, nanti gue pinjem sapu Mang Dodi," balas Leya tidak mau meributkan apa yang Karin ributkan. Karena yang terpenting sekarang adalah mendengar cerita Karin yang akhir pekan kemarin menghabiskan waktunya bersama calon suaminya itu.

Panjang umur, Mang Dodi, nama yang barusan Leya sebutkan sedang berjalan menghampiri mereka sambil membawa plasti kecil berisi dua kotak berukuran sama kecilnya. Di dalam kotak itu terdapat pisang goreng yang tadi Leya titip beli pada Office Boy kantornya itu.

Setelah mengucapkan terimakasih karena berhasil membawakan Leya titipannya. Wanita itu segera membuka kotak berwarna cokelat tersebut. Karena baru digoreng, aroma pisangnya menyeruak.

"Boleh nih," komentar Karin tanpa meminta izin segera mengambil satu potong pisang goreng yang ternyata masih panas itu. "Aduh!" Protesnya kembali meletakkan kembali pada tempatnya.

"Makanya sabar, main nyomot aja sih."

"Ya, maap."

"Dimaafin kalo lu cerita tentang nginep bersama Kakanda kemarin."

Karin mengernyitkan dahinya, "lo sekepo itu, Ley?"

"Jelas! Salah lo sendiri yang dari awal selalu cerita. Gue jadi merasa attached dan sakau kalo gak denger cerita barunya, tau gak?"

Tentu saja, bukan Leya namanya kalau tidak melebih-lebihkan segala sesuatu dalam hidup.

"Kayak udah pernah sakau aja lu."

Leya mengangguk dengan yakin, "sakau karena cinta."

Persis Mas Adjie!

"Tolonglah, cukup Mas Adjie aja yang selera humornya kayak gitu. Lo gak usah ikutan."

Seketika teringat sesuatu, kali ini Karin yang terlihat bersemangat dan menepuk lengan Leya beberapa kali. "Sama Pak Derry! Gimana jadinya? Dia udah nembak? Udah bilang i love you? Udah ketemu keluarga lo belum?"

Mendengar serbuan pertanyaan dari Karin akan seseorang yang mungkin saja sedang berada di sekitar mereka, Leya segera menyuruh Karin untuk berbicara dengan nada yang pelan.

"Bisa gak bahas beliau jangan di kantor?"

Tentu saja Karin menggeleng pasti.

"Kalo lagi di luar kan bisa, Rin," rengek Leya meminta keringanan dari Karin yang masih terlihat penuh semangat itu.

"Lo mau denger apa yang kejadian pas gue sama Mas Adjie satu kamar gak?" Goda Karin sambil tersenyum jahil. Ia bahkan memainkan alisnya naik turun. "Cerita dulu tentang lo sama Pak Derry, baru gue mau ceritain."

Leya menimbang tawaran yang Karin berikan, cukup setimpal. Hanya saja Karin tidak bisa menyesuaikan tempat dimana mereka sedang berada sekarang.

"Ya, intinya," ujar Leya membuka ceritanya. Sesekali ia menyentuh pisang goreng yang dibelinya, mengecek jika sudah bisa ia makan. "Sabtu kemarin gue mau ajak lo jalan, kan. Tapi mau dikata apa lagi? Lo lagi bulan madu singkat sama Kakanda lo itu. Makanya pas Pak Derry ngajak gue keluar, gue gas aja."

Normalnya, Ini Tidak Normal.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang