BAB DUA PULUH DELAPAN

2.5K 422 17
                                    

"Drooling again, Tea Pot?" tanya George ketika berjalan melewati wanita itu yang terdiam di depan pintu kamarnya. Thalia tidak menyadari kalau mulutnya ternganga ketika ia memasuki kamar tidur iblis itu. Ia terpukau melihat keindahan kamar George yang tidak dapat ia pungkiri sangat mengagumkan dan megah. Seisi kamar pria itu dihias oleh berbagai aksen emas, tapi juga hangat karena perpaduan warna biru muda dan abu-abu ditemukan di kain-kain seperti tirai dan ranjangnya. Siapa pun yang mendesain keseluruhan istana itu membuat Akhaltsikhe Narikala sangat indah dan hal itu membuat Thalia mengernyitkan hidungnya memikirkan kalau seorang pangeran berwujud iblis tinggal di dalamnya.

"Kamarnya indah aku harus mengakui, tapi aku tidak menyukai pemiliknya."

"Ibuku? Ouch, Tea Pot, sang ratu akan sakit hati kalau sampai tahu menantu kesayangannya membenci dirinya," kata George kepada Thalia.

"Don't you dare say more lies to your mother about me! I'll kill you! Kamu sangat menyebalkan, Esedi! Kamu mengatakan hal-hal buruk mengenaiku dan tidak benar kepada ibumu! I don't shit my pants and I'm certainly not angry at her!"

"Tea Pot, you need to calm down, apa aku sudah mengatakan kepadamu kalau wajahmu terlihat seperti teko mendidih setiap kali marah? I can see smokes from the back of your head—" dan George pada saat itu tersadar kalau amarah wanita gila itu sudah memuncak. Thalia mengejarnya dan ia berlari ke arah ranjang. George berpikir ia dapat memberikan dirinya sendiri jarak dengan ranjang di tengah mereka, tapi Thalia sekarang telah berlari mengelilinginya dan kembali mengejar George. Hal yang terpikirkan oleh George adalah naik ke atas ranjang dan berharap wanita itu memiliki sedikit akal sehat untuk berhenti mencoba untuk membunuhnya.

"Tea Pot," kata George dengan kedua tangannya yang menunjukkan dirinya hanya ingin kedamaian. "Bagaimana kalau kita berhenti bertengkar malam ini? Truce?"

Thalia Escara tentu saja tidak ingin berdamai dan baru saja kakinya akan naik ke atas ranjang, George berteriak, "Fine! Okay, fine! If you don't want truce, then at least let me do something first."

Thalia mengerutkan matanya, "What?"

Tidak pernah terpikirkan oleh Thalia sebelumnya apa yang akan dilakukan George selanjutnya. George Esedi yang berdiri di atas ranjang tiba-tiba membuka bajunya dan memperlihatkan dada bidangnya. "Tunggu—"

"No, Tea Pot, I can not wait," kata George.

"Apa yang kamu lakukan—"

"If you're going to kill me, let me get undress," ucap George yang sekarang tengah membuka sabuk pinggang celana jinsnya dan melepaskan kancing setelahnya.

"Why do you need to get undress, Esedi?"

"Setidaknya biarkan aku terlihat dalam keadaan menarik jika orang-orang menemukan jasadku nanti, Tea Pot," kata George yang terlihat sangat santai melepaskan celana jinsnya. Celana itu turun ke bawah pergelangan kaki pria itu dan ditendangnya ke arah Thalia. Wanita itu berusaha untuk menghindar dan menepis celana jins pria itu, hanya membuat George terkekeh, "Sorry, Tea Pot."

George sekarang memegang bagian atas celana dalamnya yang sama sekali tidak menutupi kejantanan pria itu dan berkata, "To the main show, Tea Pot. Ready?"

"Kamu ingin semua orang melihat jasadmu dalam keadaan telanjang, Esedi?" Thalia melipat kedua tangannya di dada dan melihat pria itu dengan tatapan kesal. Ia mencoba menghindari melihat ke arah kejantanan George dan berfokus kepada betapa konyol pria yang mendapatkan gelar dari sang ratu Adjara Shida itu.

"I need to tell everyone that my body has been sacrificed for a greater good, because of a crazy woman—you—who can not control her anger," kata George yang sekarang melepaskan celana dalamnya mempertunjukan seluruh bagian tubuh pria itu. George menurunkan celana dalamnya ke pergelangan kaki dan menendangnya kepada Thalia.

Kali ini Thalia menepis dengan jijik dan mata birunya melihat ke arah celana dalam yang sekarang tergeletak di lantai. Matanya lalu beralih kepada George, tapi sebelum ia dapat melihat ke arah wajah pria itu di atas ranjang, matanya berhenti tepat di tengah kejantanan pria itu.

"Is that Princess Daisy?" tanya Thalia kepada George. Wanita itu menggigit bibirnya menahan tawa. Ia tahu seharusnya ia tidak tertawa, tapi sekarang ia tidak bisa menahannya. Pria itu konyol dan Thalia akan mengikuti permainannya, karena di antara mereka berdua, ia tahu kalau dirinya adalah pemenangnya. Thalia Escara tidak pernah kalah.

"Why?" tanya George yang menunduk melihat kejantanannya. "You like what you see?"

"Is it always.... That.... Small?" tanya Thalia dengan sinis dan merendahkan. Ia tahu sekarang dirinya sedang menyentil ego pria itu dengan mengatakan kejantanannya kecil. Tidak ada satu bagian tubuh George Esedi yang kecil, terutama bukan kejantanan pria itu, tapi Thalia ingin pria itu marah dan mengeluarkan emosinya. Di dalam permainan saling membunuh ini, Thalia tidak ingin lawan yang lemah.

"Oh, is this small?" George menaikkan sebelah alisnya lalu salah satu tangannya memegang tubuhnya. "Very tiny," jawab Thalia dengan dramatis.

George dengan santai tersenyum dan jari-jarinya sekarang terkepal di sekeliling tubuhnya yang baru saja Thalia katakan kecil. Pria itu lalu menggerakkan jari-jarinya dengan ritme naik dan turun membuat napas Thalia tercekat dan bertanya, "You're drooling again, Tea Pot. Are you sure this is small to you? Want to try fitting this in your mouth? I dare you."

SOLAMENTE | SIMPLY ONLY YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang