Thalia menarik napasnya dan mengangguk memberikan tanda kepada penjaga pintu agar membukakan pintu ruang dansa. Ia mengembuskan napasnya dan melangkah maju, menyadari ketika ia berjalan menuju tangga ke ruang dansa, suara-suara yang terdengar sangat nyaring dari percakapan ribuan undangan sekarang seketika hilang. Seluruh ruangan menjadi sangat hening dan Thalia hanya dapat mendengar langkah kakinya sendiri. Ribuan pasang mata melihatnya turun dari tangga dan Thalia merasa begitu kecil sampai matanya bertemu dengan mata cokelat muda milik George Esedi.
Napasnya tercekat ketika ia melihat pria itu menatapnya dan Thalia menggunakan sisa kepercayaan dirinya untuk turun menuju kepada George yang berdiri tidak jauh dari kaki tangga. Tatapan George tidak berpindah darinya, membuat Thalia sedikit tenang dan tidak gugup. Pria itu menenangkannya dengan cara yang ia tidak mengerti. Ia juga merasa tatapan pria itu membuat seakan-akan ribuan orang yang sedang menatapnya, menjadi hilang dan hanya mereka yang berada di ruang dansa. Hanya dirinya dan George yang berada di ruang dansa itu seperti kemarin mereka berlatih. Thalia mengembuskan napasnya ketika menyadari kalau ia berada di kaki anak tangga terakhir dan George Esedi mendekat. Pria itu terlihat sangat tampan dengan tuksedo berwarna hitam dan dasi pita berwarna sama. Pakaian formal George membuatnya sangat berbeda dengan persona yang ditunjukkan di sirkuit balap ketika mengikuti pertandingan Grand Prix. George Esedi yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Pangeran Adjara Shida. Ia terlahir untuk menjadi pangeran.
Pria itu mengulurkan tangannya dan Thalia meraihnya. "Hey, Tea Pot."
"Esedi," jawab Thalia ketika merasakan hangatnya tangan pria itu yang menggenggamnya sekarang. Pada saat itu orkestra memainkan bait pertama dari Rachmaninoff's Symphony No. 2 dan mereka berjalan ke tengah lantai dansa. Para tamu undangan memberikan mereka jalan dan sekarang terlihat terbagi menjadi dua membelah lantai dansa untuk pasangan itu. "Breathe, Tea Pot," kata George yang sekarang berhadapan dengannya.
Tangan pria itu lalu mendekapnya dengan erat dan memosisikannya di bawah pinggang, "Kamu sangat cantik malam ini, Tea Pot," kata George kepada Thalia.
"Aku tahu," balas wanita itu dengan datar, walaupun sebenarnya ia sangat menyukai pujian pria itu kepadanya..
"Slow down," kata George ketika menyadari kalau kaki Thalia mulai menginjaknya. "Seperti yang Master Darren ajarkan—biarkan aku memimpinmu, Tea Pot."
Thalia mengangguk dan menyadari kalau ia begitu gugup sampai menginjak kaki pria itu berkali-kali. Namun George dengan mudah mengambil alih dan sekarang berkata, "And in two, I'll turn you around, one... two...."
Thalia lalu berputar dan George menariknya kembali ke dekapan pria itu tidak lama kemudian. "Are you okay, Tea Pot?" tanya George kepada Thalia yang terlihat terkejut dan kehilangan kata-katanya ketika kembali ke dekapannya.
Thalia bergumam, "Semua mata memandangi kita. Are we really that bad? Apa aku menginjak kakimu lagi? Apa gerakanku salah?"
"They are looking at you," balas George. "You must know you are incredibly breathtaking tonight."
Thalia mendongak ke arah wajah George dan berkata, "Berhenti memujiku, Esedi."
"Aku tidak tahu kamu tidak ingin dipuji, Tea Pot."
"Aku tidak ingin dipuji olehmu. Are you starting to like me, Esedi?" tanya Thalia yang tiba-tiba bertanya apa pria itu menyukainya di tengah lima ribu pasang mata yang memandangi mereka. George mengangguk dan membalasnya dengan pertanyaan lain, "What if I start liking you?"
"..."
"..."
Wanita itu tidak menjawab dan untuk sesaat mereka hanya berdansa dikelilingi para tamu undangan yang penasaran dengan setiap gerakan mereka. Thalia tersenyum dengan sinis walaupun semua orang yang melihatnya hanya dapat menerka dirinya tersenyum hangat kepada suaminya sendiri di tengah lantai dansa. "In my dream, he said it. Not you. Kata-kata itu tidak terdengar tulus datang darimu, tapi pasti akan berbeda kalau keluar dari mulutnya."
"Siapa?" tanya George yang tidak menyadari kalau pertanyaannya terdengar posesif.
"Fred."
"Profesor berjanggut itu?"
"Ya," kata Thalia. "I really like him, Esedi. He's the only man my eyes is set upon. Apa pun yang kamu coba mainkan sekarang—apa pun rencana konyolmu itu—aku tidak akan terjatuh."
"I'll turn you around again, in a count of three... three... two... one," kata George dan sekali lagi membiarkan Thalia berputar selagi mengikuti simfoni dari orkestra. Ketika wanita itu kembali untuk kedua kalinya ke dekapannya, Thalia berkata, "Why do you choose this symphony? Simfoni ini sangat berisik dan aku tidak yakin langkahku sama dengan ritme setiap nada yang dimainkan. God, Esedi, apa kamu mencoba untuk membuat malu diriku?"
George menyadari pada saat itu kalau Thalia Escara sama sekali tidak mengerti seperti ibunya. Di hari pernikahan ayahnya dan sang ratu Adjara Shida, George melihat Forest Shahbat menangis di tengah lantai dansa ketika menyadari arti dari simfoni yang dimainkan oleh para pemain orkestra. Di tengah lantai dansa, ia mengingat ayahnya menghapus air mata sang ratu dan mengucapkan tiga kata itu, "I love you, My Wife."
George berpikir malam ini ia dapat mendapatkan reaksi yang serupa dari Thalia, walaupun tentu saja mereka belum pada tahap mencintai satu sama lain. Setidaknya, ia ingin wanita itu mengerti arti dari simfoni yang dimainkan atau menghargainya. Ia ingin Thalia menanyakan kepadanya kenapa ia memilih simfoni yang dimainkan, bukan mendengar wanita itu menuduh membuat malu dirinya.
George seketika terlihat kecewa dan berkata dengan pahit, "Ya, tentu saja. Aku ingin membuatmu malu, Tea Pot. My life's goal is to make you suffer."
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLAMENTE | SIMPLY ONLY YOU
Romance© 2024, Cecillia Wangsadinata (CE.WNG). All rights Reserved. ADULT (25+). VIEWERS DISCRETION ADVISED. THIS WORK HAS FOLLOWED THE WATTPAD GUIDELINES FOR MATURE RATING. ========================================================= This work is protecte...