Baru seminggu pasca kelulusan, kelima remaja yang dulu berada di kelas yang sama secara berlebihan berkumpul dengan dalih reunian mengingat masa-masa SMA.
Kelima remaja itu berjanjian untuk bertemu di sebuah cafe yang dulunya merupakan tempat favorit mereka berkumpul.
Empat orang sudah duduk manis sejak tiga puluh menit yang lalu, menunggu seseorang yang sangat jarang tepat waktu. Langganan berdiri di depan kalas kalau kata mereka.
"Sumpah, udah dewasa, tapi, nggak berubah," cibir Lavia saat matanya menangkap sosok pemuda tinggi dengan raut wajah datar mendekati mereka.
Pemuda yang baru tiba mendengus sebal, "Nggak usah sok dewasa deh, pipis aja masih bengkok."
"Kita ini para wanita dewasa," ucap Fiela dengan menatap remeh kearah Arsa yang baru saja duduk dan tanpa malu menyesap jus yang entah milik siapa.
"Bacot."
Hilang sudah kesan dingin yang selama ini orang-orang sematkan pada sosok Arsa. Bersama keempat sahabat karibnya ini, mereka tak lebih dari sekumpulan orang gila yang menjalin hubungan persahabatan.
Memang terkesan agak berbeda saat seorang lelaki berada di antara banyak gadis, namun, mereka sama sekali tidak memperdulikan apa kata orang. Selagi mereka berteman dengan aman nyaman dan damai, pandangan orang-orang tidaklah berarti apa-apa.
"Gue kangen banget deh sama kalian, nggak nyangka kalian udah tubuh sebesar ini." Ona dengan hiperbolanya berucap sambil pura-pura mengusap air mata.
Pelita yang duduk tepat di sebelah Ona ikut mendramatisir suasana dengan isak tangis palsunya, "Kita tumbuh dan berkembang secepat ini, padahal kemarin baru sebesar biji kecambah."
Mereka lalu tertawa tanpa beban, seolah hal ini adalah hal yang sangat biasa. Waktu memang cepat berlalu, siapa yang menyangka jika mereka akan tiba di jurang berpisahan secepat ini? Maksudnya, setelah ini mereka akan pergi mengejar impian masing-masing.
Berbeda jalan, berbeda tujuan. Mungkin butuh waktu lama agar mereka bisa kembali duduk melingkar dan bercanda seperti sekarang.
"Liburan, yuk?" ajak Lavia seraya memukul permukaan meja cukup kencang.
Mereka jelas mengangguk setuju, liburan terakhir sebelum mereka dipenuhi kesibukan untuk masuk perkuliahan adalah hal yang sangat di nanti.
"Kemana, nih?" tanya Arsa sambil menatap keempatnya bergantian.
Ona mengangkat tangannya tinggi-tinggi, "Gunung?"
"Pantai!"
"Puncak? Ke sawah? Padang pasir? Peternakan kuda?" tawar Fiela excited, wajahnya berseri-seri seolah sangat ingin mengunjungi tempat-tempat itu.
"Desa Woso?"
Suasana mendadak hening, perhatian berpusat pada Lavia yang tadi mengusulkan tempat. Jelas itu mendapatkan penolakan mentah-mentah dari Arsa.
"Ngapain ke desa pelosok? Nggak usah aneh-aneh."
Lavia memutar bola matanya malas, "Katanya di sana masih asri, kan? Ada sungai kecil juga yang nggak jauh dari desa. Apa salahnya kita sesekali liburan di desa? Jauh dari hiruk-pikuk kota yang berisik ini."
Fiela mengangguk setuju, "Gue juga penasaran sama tanah kelahiran lo," ucapnya berbisik di akhir kalimat.
Arsa berusaha tetap tenang, pemuda itu menatap sahabatnya satu persatu, "Selain asrinya, kalian juga udah denger kisah-kisah horor dan nggak masuk akal dari sana, kan? Cari tempat yang normal aja. Lagian di sana belum ada listrik, nggak akan ada sinyal, jad buat apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...