15. Berlari Tanpa Arah

1.7K 120 12
                                    

Fakta baru yang sangat mengejutkan untuk mereka semua. Empat gadis yang masih terikat itu tidak menangis, namun, mata mereka menatap kosong kearah Jero yang bercerita tanpa beban.

Tidak sekalipun terlintas di benak mereka jika Arsa ikut terlibat, terlebih ... usia Arsa saat itu adalah sepuluh tahun?

Jero menghela nafas pelan, pria itu mengambil golok yang tadi tergeletak di lantai tanah kemudian melangkah mendekati mereka.

"Jadi, jika aku harus mati karena terlibat, bukankah adikku juga begitu?"

Dengan cekatan Jero membebaskan empat gadis yang seperti kehilangan kesadaran itu. Mereka bahkan masih tidak bereaksi ketika Jero membuka ikatan dengan ujung golok.

"Pergilah. Arsa sudah menunggu kalian untuk---"

"Untuk mengorbankan kami?" potong Lavia cepat, amarah gadis itu tiba-tiba memuncak, belum lagi dirinya juga menyadari bahwa matahari sudah mulai terbenam.

Jero hanya menatap datar, "Lari sebelum warga datang untuk membawa kalian."

"Lari ke mana?! Ke Arsa yang jelas-jelas sama kayak kalian?!" sentak Lavia yang benar-benar kehilangan kepercayaannya.

Gadis itu memberontak keras ketika tiga temannya berusaha membawa dirinya untuk keluar dari lumbung.

"Cukup, Lavia! Bisa aja dia bohong buat mecahin kita! Apapun itu, yang harus kita percaya adalah Arsa," ucap Ona ketika mereka sudah berada di luar lumbung, "kita harus pulang ke rumah Arsa."

"G-gimana kalo Arsa emang terlibat?" tanya Pelita dengan gugup, gadis itu meremas pakaiannya khawatir.

Fiela bergerak maju mendekati sungai yang mulai terlihat, "Itu berarti kita harus ngelawan sahabat kita sendiri."

"Gue nggak akan pernah sudi mati di sini," ucap Lavia sinis, api kemarahan masih membakarnya sehingga gadis itu mengikuti langkah Fiela agak tergesa.

Mereka berlari menyebrangi sungai, menahan rasa mual yang teramat kuat ketika air-air sungai berbau busuk menyentuh kulit mereka, belum lagi dengan fakta yang mereka dengar dari cerita Jero.

Sungai itu, makam bagi penduduk desa.

Matahari yang sudah terbenam membuat jarak pandang mereka menjadi terbatas. Hanya dengan ingatan samar mereka mengikuti insting masing-masing untuk menemukan jalan menuju rumah.

Lavia yang berjalan paling belakang merasa hatinya begitu kecewa. Siapa sangka salah satu sahabat baiknya ikut serta dalam kehancuran sang Kakak?

Lavia dan keluarganya nyaris mati setiap hari hidup bersama Lilin yang sering mengamuk, dan lihat, mereka masih hidup dengan tanpa rasa bersalah di tempat ini.

"Gue nggak bisa," bisik Lavia sembari menghentikan langkahnya, menatap tiga punggung yang tidak menyadari ketika dirinya berhenti, "gue nggak bisa percaya lagi."

Tanpa bersusah payah memberitahu, Lavia berlari berlawanan arah. Menuju tempat yang Lavia sendiri tidak tau kemana arah tujuannya.

...

Fiela mengusap pergelangan tangannya yang terluka sembari menatap ke sekitar tempat yang terlihat sepi.

"Lo liat ada orang, La?" tanya Fiela tanpa menoleh ke belakang. Gadis itu mengernyit bingung saat tidak mendapatkan jawaban hingga dirinya memutuskan untuk berbalik, "La---Lavia?!"

Dua gadis lainnya lantas berhenti, menatap Fiela yang sudah menoleh kesana-kemari mencari keberadaan gadis yang tidak terlihat eksistensinya sama sekali.

"Lavia?! Mana dia?!" tanya Ona dengan pekikan tertahan. Ona jelas masih melihat Lavia ketika mereka menyebrangi sungai tadi, tapi, kemana gadis itu pergi?

"D-dia kabur?" tanya Pelita terbata-bata, "dia terpukul, aku takut dia ngelakuin hal yang membahayakan."

"Kita harus cari dia," putus Ona sembari ingin kembali ke arah sebelumnya.

Pelita menahan gadis itu, "Tapi, Arsa? Kaya Jero dia udah nungguin kita...."

"Kalian temuin Arsa, biar gue yang cari Lavia," ucap Ona seraya mengusap wajahnya yang terasa perih.

Fiela menggeleng brutal, tidak menyetujui apapun keputusan Ona, "Gue mohon jangan berpencar. Ini udah malem, kalian ingat? Festivalnya."

Tubuh tiga gadis itu menegang, mereka semakin masuk ke area hutan yang gelap tanpa penerangan apapun.

"Lavia dalam bahaya."

Fiela lagi-lagi menggeleng, "Bukan cuma Lavia, kita semua dalam bahaya. Jero, dia cuma ngulur waktu supaya kita jadi kesusahan buat sampe ke rumah."

"Jadi, kita temuin Arsa baru cari Lavia?" tanya Ona meminta jawaban pasti.

"Kalo emang Arsa terlibat dua belas tahun yang lalu, itu bakal mempermudah kita buat nyari Lavia. Dia yang paling tau seluk beluk desa ini."

Mereka melanjutkan langkah menyusuri hutan dengan Fiela yang lebih berhati-hati agar tidak kecolongan seperti sebelumnya. Langkah mereka sangat pelan karena kondisi tubuh yang begitu lemas akibat dehidrasi dan luka-luka yang mereka terima, terutama Ona yang memiliki luka di bagian kaki.

Tubuh mereka seketika menegang saat mendengar sorak gembira orang-orang yang melangkah tak jauh dari mereka. Hal itu membuat tiga gadis itu bersembunyi di balik kegelapan. Mereka melihat segerombolan orang-orang yang berlari menuju area sungai dengan perasaan penuh rasa ngeri.

"Mereka mau jemput kita."

Ona mengangguk membenarkan, "Setelah mereka nggak keliatan, kita lari sekencang mungkin."

Dengan aba-aba dari Ona mereka lalu berlari sekuat tenaga menembus celah pepohonan yang mereka harapkan membawa mereka menuju hutan di belakang rumah Arsa.

"MEREKA HILANG!"

"SANTAPAN KITA MELARIKAN DIRI!"

Teriakan samar itu membuat kaki mereka melemas entah karena apa. Namun, sekuat tenaga mereka masih berusaha berlari.

"Mau ke mana, anak cantik?"

Tiga gadis itu berteriak bersamaan saat tiba-tiba sesosok makhluk berkebaya merah penuh darah mengejar mereka dari balik pepohonan.

Tawanya yang melengking membuat siapa saja akan bergidik ngeri. Dengan sisa-sisa kekuatan, tiga gadis itu masih berlari walaupun sambil menangis dan berteriak.

"Tidak lelah? Berhentilah bermain-main, aku sudah sangat kehausan!"

Bersama iringan suara lengking itu, langkah kaki bersamaan terdengar semakin dekat membuat tiga gadis itu semakin bergetar ketakutan.

"Jangan berhenti! Belok ke arah lain sekarang!" jerit Fiela sembari membawa teman-temannya untuk masuk kearah hutan tanpa memikirkan tujuan awal mereka.

Lebih dari apapun, saat ini yang hanya ada di dalam pikirannya adalah kematian. Sungguh!  tidak ada yang ingin berakhir sama dengan para mahasiswa itu.

"HAHAHA! Teruslah berlari, aku akan mengejar santapanku bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun! Selamanya!"

.


.

.

.

nahhh bakal menuju ending? oh belum, akan ku buat mereka tercabik-cabik haha
VOTE DAN KOMEN PLISS SUDAH TRIPLE LOHH
to be continued.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang