Dua gadis yang masih tersadar lantas bergerak mundur ketika mendapati Arsa yang berdiri di hadapan mereka. Memegang sebilah golok dengan darah kering menghiasi ujung benda itu.
"Kenapa kalian nggak pulang ke rumah?! Mana Lavia?!" tanya Arsa sembari menatap bingung para sahabatnya yang terlihat ketakutan, "ayo pergi."
"Ke mana?" tanya Pelita dengan suara bergetar ketakutan.
Arsa semakin mengernyit bingung, matanya menatap dua orang ini bergantian kemudian beralih menatap Fiela yang masih tak sadarkan diri.
Mereka sudah tau jika kau terlibat.
"Kalian---"
"Apa? Lo mau bawa kami pergi ke mana, Ar? Ke tiang kembar? Kayak lo bawa enam orang itu?" tanya Ona memotong kalimat Arsa. Mata gadis itu memerah menahan tangis dan juga kemarahan.
Arsa menjatuhkan goloknya kemudian berlutut, "Kalian bener-bener udah tau semuanya, ya?"
Tangis dua gadis itu pecah begitu saja, sungguh, mereka masih memiliki sedikit harapan bahwa Arsa akan mengatakan jika semua yang Jero katakan adalah kebohongan.
Namun, melihat tak ada raut kebingungan lagi di wajah Arsa langsung membuat mereka sadar bahwa kebenaran sudah di depan mata.
"Mana Lavia?" tanya Arsa sembari mengedarkan pandangannya.
Pelita tertawa pelan di sela tangisnya, "Dia lebih milih kabur sendirian daripada ikut kami buat nemuin pembunuh kakaknya."
Arsa menutup matanya dengan erat, benar-benar tidak bisa menyalahkan semua pemikiran yang terbentuk akibat cerita dari Jero.
"Ar ... gue kira lo beda kaya mereka. Ternyata sama, ya?" tanya Ona pelan, "sekarang tunggu apalagi? Ayo panggil mereka, kalian mau siram tanah ini sama darah kami, kan?"
"Gue nggak akan biarin itu terjadi."
Dua gadis itu berdecih tak suka, merasa jika Arsa benar-benar terlihat munafik. Rasanya sangat sakit ketika tiba-tiba terpaksa membenci seseorang yang dulunya sangat dekat dengan mereka.
Tangis Pelita agak terhenti ketika mengingat sesuatu, "J-Jero bilang umur kamu waktu itu udah sepuluh tahun ... jadi---"
"Gue udah dua puluh dua tahun sekarang, jauh di atas kalian," potong Arsa yang sudah kembali menatap dua sahabatnya, "please, percaya sama gue. Dua belas tahun yang lalu adalah kali pertama dan terakhir gue terlibat sama desa ini."
Seorang anak laki-laki kisaran sepuluh tahun berlari masuk ke dalam rumahnya. Melangkah menuju dapur untuk menemui sang ibu yang tengah memasak makanan.
"Mama, Arsa sudah temui orang-orang luar itu," ucapnya sembari mengambil satu pisang goreng yang tersaji.
Wida menoleh, menatap penuh harap anak laki-lakinya. Wanita itu berjongkok, menyamakan tinggi dengan sang putra, mengelus lembut wajah tampan itu.
"Arsa lakuin apa yang Mama bilang, kan? Arsa kasih tau mereka untuk lari ke arah selatan, kan?" tanya Wida sambil mengguncang pelan kedua bahu kecil itu.
Melihat keterdiaman Arsa, dirinya lantas menangis, "Arsa udah janji buat nurutin Mama. Arsa udah janji buat nggak jadi sama kayak mereka, kan?! Arsa ... enam orang itu bisa bawa kita keluar dari sini!"
Arsa memeluk Wida dengan penuh rasa bersalah, " Tapi Ayah bilang kalau dia akan habisi Mama kalau Arsa tidak menurut sama Kak Jero. Arsa tidak mau Mama pergi."
Mendengar hal itu, Wida lantas menghentikan tangisnya. Wanita itu berdiri sambil menatap sekeliling rumah.
"Kalau begitu kita akan lari sendiri, ayah kamu akan sibuk nanti malam, kita harus lari."

KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...