Enam orang terlihat turun dari sebuah mobil yang berhenti di pinggiran hutan. Hanya ada dua orang gadis di antara orang-orang itu.
Salah satunya sedang memotret persekitaran dengan kamera, tanpa memperdulikan teman-temannya yang merasa kebingungan.
"Kita udah di ujung hutan, mana desanya? Ah! Ini mah gagal lagi," ucap seorang pemuda yang tengah bersandar di bagian depan mobil.
"Sabar, Kase. Apa mungkin kita perlu masuk ke dalam hutan, ya?" Gadis satunya bertanya setelah meneguk sebotol air.
Pemuda yang duduk di jalanan berdecak, "Masuk ke mana, Mia? Sekeliling lo hutan semua."
Mia mendelik sinis, "Gue nggak buta, Len."
"Ada orang."
Atensi mereka beralih pada sosok gadis dengan rambut di ikat tinggi. Gadis itu lalu menunjuk pada seorang pria yang terlihat sedang membawa kayu bakar.
"Kita tanya dia, yuk?"
"Heh, Lilin! Bentar!" Mia berlari mengejar temannya yang sudah berlari mendekati pria di depan sana.
Meninggalkan empat pemuda yang menatap gadis-gadis itu dalam diam. Agak meringis dengan kepribadian yang bisa di bilang terlalu berani untuk takaran seorang perempuan.
"Temen lo nggak ada takutnya," ucap Alen sembari menggelengkan kepalanya heran.
"Temen lo juga anjing!"
Mereka kembali terdiam saat dia gadis itu kembali bersama pria asing yang tadi memungut kayu bakar. Pria itu tampak tersenyum ramah ketika sampai di hadapan mereka.
"Saya dengar kalian ingin berkunjung ke Desa Woso. Kebetulan saya kepala desanya, nama saya Rahadi."
...
Lilin terus mengarahkan kameranya ke seluruh penjuru tempat. Tidak berhenti berdecak kagum karena hutan di sini benar-benar masih terjaga.
Langkah mereka berhenti tepat di sebuah gapura yang berdiri kokoh. Kamera Lilin jelas terarah kepada tulisan yang tertera di atas gapura.
"Dugi kangge ngenger saumur gesang*," eja Kase dengan susah payah, dirinya lalu beralih pada Rahadi yang berada di sebelah mereka, "apa artinya, Pak?"
Rahadi ikut memandang tulisan itu penuh selidik, "Entahlah, para tetua yang menulis, itu bahasa jawa, sebenarnya saya bukan berasal dari suku itu."
Mereka mengangguk mengerti, tersenyum sopan tak kala Rahadi meminta mereka untuk memasuki desa yang lumayan sepi.
"Sepi, ya, Pak? Seperti yang ada di cerita."
Kepala pemuda yang bernama Zero itu di pukul dari belakang, membuat pemuda itu menoleh marah, "Sakit, Tio!"
"Jangan ngomong sembarangan," bisik Tio mengingatkan. Peringatan itu juga di angguki oleh empat temannya yang lain.
Rahadi justru tertawa pelan, "Biasa saja, memang seperti apa kami di cerita mereka?"
"Ah, maaf, Pak," ucap Zero tak enak.
Lagi-lagi sang kepala desa menggeleng, "Sungguh, tidak masalah. Saya benar-benar hanya ingin tau saja."
Zero memandang lima temannya yang lain yang terlihat enggan untuk ikut campur. Pemuda itu lalu menghela nafas pelan, "Cerita bilang desa ini angker, Pak, banyak ritual mistisnya, lalu ... orang-orang---"
"Orang-orangnya?" potong Rahadi cepat, entah kenapa wajah pria itu terlihat agak bersemangat.
"Abadi, tidak pernah mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...