Jero mengambil golok yang tergeletak di luar lumbung sebelum membuka pintu lumbung lebar-lebar. Dapat dirinya lihat empat gadis terikat dalam keadaan tidak baik.
Mereka melotot menatap Jero penuh amarah dan rasa curiga. Pria itu melangkah mendekat sambil masih mengacungkan goloknya tinggi-tinggi.
"Di mana Arsa?" tanya seorang gadis yang tidak Jero kenali sama sekali.
Pelita yang tadi bertanya lantas terisak saat Jero hanya menatap mereka datar tanpa berniat untuk menjawab ataupun menurunkan golok.
Ona mengerang marah, "Temen gue tanya di mana Arsa?!"
Persetan dengan sopan santun dan sebagainya. Desa ini dan segala isinya sama sekali tidak pantas untuk mendapatkan semua itu.
"Apa perduli kalian? Mau Arsa hidup ataupun mati, bukan kah tujuan kalian hanya untuk membongkar rahasia tanah ini?" tanya Jero sinis, pria itu menurunkan goloknya sambil menatap tajam orang-orang di hadapannya, "kenapa adikku harus berteman dengan orang-orang egois seperti kalian?"
Mereka terdiam, jelas menyadari jika mereka memang terkesan egois tanpa memikirkan Arsa sekali. Fiela kemudian mendongak, menatap Jero menantang.
"Lo cukup jawab pertanyaan ini, di mana Arsa?! Lo bawa Arsa ke mana, sialan?!" sentak Fiela seraya memberontak marah.
Jero berdecih kemudian mendekat kearah Fiela sembari mengangkat goloknya tinggi-tinggi, "Mau bertemu dengan Arsa, huh?"
"Jangan macam-macam," bisik Lavia seraya melirik Jero yang masih memandang Fiela lekat lekat.
Jero kembali mundur lalu meletakan goloknya. Pria itu melangkah menuju pintu, menutupnya hingga menghilangkan sumber cahaya satu-satunya tempat ini.
"Lepasin kami!"
Pria satu-satunya di sana terkekeh pelan, "Kenapa terburu-buru? Bukan kah kalian menginginkan sebuah kebenaran? Ayo tanya aku, akan ku jawab semuanya."
"LEPASIN KAMI, SIALAN! KAMI NGGAK BUTUH APAPUN!" jerit Ona seraya memberontak, menatap benci Jero yang seolah mengulur waktu.
"Ceroboh, otak dangkal, egois, semau---"
Cuih!
Pelita menatap marah Jero setelah meludah tepat di depan pria itu, "Banyak omong! Lepasin!"
Wajah Jero mengeras, dirinya mencengkram dagu mungil Pelita dengan erat sebelum menghempasnya kasar.
"Jika bukan karna Arsa, akan ku biarkan kalian berakhir di tiang kembar, keparat!"
Mendengar hal itu, Lavia menoleh cepat. Kata itu adalah salah satu yang sangat sering Lilin katakan bahkan di dalam tidurnya.
"Tiang kembar?"
Jero mengalihkan pandangannya kearah Lavia, pria itu menyeringai tipis, "Kau tau sesuatu, ya?"
"A-Apa sebenarnya ini? Untuk apa, untuk apa tiang kembar itu?!" tanya Lavia mendesak Jero agar menjawab.
"Untuk mengikat siapa saja yang akan di korbankan, tentu saja. Seperti kalian, yang akan di ikan ke tiang kembar, di telanjangi untuk memeras semua darah yang mengalir di tubuh kalian," ungkap Jero dengan wajah bengisnya. Pria itu mengeluarkan pisau pipih yang terselip di pinggangnya, "aku, aku adalah orang yang akan menyayat kalian."
Mata empat gadis itu bergetar ketakutan, apalagi Jero sudah mendekatkan pisau pada wajah mulus Pelita. Gadis berhijab itu sudah menutup matanya erat, merasa ngeri saat dinginnya mata pisau perlahan menggores pipinya.
"Akh! S-sakit!"
Jero tersenyum lebar ketika melihat darah di wajah Pelita mengalir cukup deras, "Seperti ini."
"C-cukup! Tolong lepasin kami, biarin kami pergi dan tolong bawa Arsa ke sini," ucap Ona yang merasa kasihan melihat Pelita yang sudah menangis kesakitan. Gadis itu bahkan melupakan luka di kakinya sendiri.
Jero tertawa lalu beralih bergerak menuju Ona, jelas hanya untuk menggores lengan gadis itu, menekannya agak dalam sehingga lebih banyak darah yang keluar.
"Teruslah memohon." Jero kembali berpindah tempat, kali ini di hadapan Lavia yang menatapnya bengis, "kau juga?"
Tawa serak terdengar, Jero menatap bergantian luka-luka yang mengaliri darah itu. Jero lalu beralih menatap Fiela yang masih bersih tanpa noda, "Giliran mu? Hanya permulaan, supaya tidak terkejut saat aku mengorbankan kalian nanti."
"Untuk apa kalian mengorbankan kami? Jangan bilang dua belas tahun yang lalu...." Fiela menggantung kalimatnya, menatap Jero penuh tanda tanya yang langsung di tanggapi senyuman lebar oleh pria itu, "ulah kalian?"
"Kalau ku bilang iya?"
"ANJING! SIALAN, LO! TANAH KEPARAT, IBLIS LO SEMUA!" jerit Lavia histeris, dirinya jelas mengingat keadaan sang kakak beberapa tahun silam.
Setelah peristiwa kejam itu bahkan orang-orang ini masih bertingkah layaknya manusia normal.
PLAK!
"Jaga mulutmu!"
Lavia menatap tajam, "Lo yang jaga mulut, sialan! Lo semua yang harusnya mati! Bukan kami ataupun orang lain!"
Jero lantas tertawa keras hingga merunduk, suara seraknya yang mengerikan menggema ke seluruh ruangan yang sepi. Walaupun matahari sudah bersinar, entah kenapa cahayanya seolah enggan memasuki lumbung tempat mereka terkurung.
"Jika begitu, bukankah seharusnya Arsa juga mati?" tanya Jero sembari menyeringai.
"Apa maksud lo?" tanya Fiela pelan, tangannya terus berusaha membuka ikatan tali, itulah sebabnya gadis itu lebih memilih memerhatikan mereka.
Apapun itu, Fiela merasa Jero hanya berusaha mengulur waktu untuk hal yang Fiela tidak tau apa. Matahari sudah mulai naik, dan dari yang Fiela ingat, festival akan di mulai saat matahari terbenam nanti.
"Yah, dia bilang kami semua yang terlibat atas festival dua belas tahun yang lalu harus mati," balas Jero sembari menatap mereka satu persatu, "ku katakan jika Arsa juga harus mati, karena ... dia terlibat."
...
Arsa berlari sekuat tenaga menuju rumahnya. Desa terlihat seperti seperti dugaan Arsa, mereka jelas bersembunyi di dalam rumah saat matahari sudah mulai di atas kepala seperti ini.
Biarkan saja, ini jelas mempermudah pelarian mereka. Jika Arsa dan empat gadis itu sudah berada di dalam mobil, mereka hanya tinggal tancap gas sekencang mungkin.
Arsa bersumpah akan menabrak apapun yang berani menghalanginya.
Pemuda itu berdecak keras ketika pintu depan tidak bisa terbuka, "Mereka pasti lewat pintu belakang."
Arsa kemudian berlari menuju dapur, dirinya bergegas berlari menuju kamar untuk mencari kunci mobil. Mengabaikan seluruh perasaan cemas karena merasakan aura yang tidak mengenakan dari rumahnya sendiri.
Dirinya sama sekali tidak memikirkan untuk membawa hal lain setelah menemukan kunci mobil. Arsa langsung bergegas keluar, memutuskan untuk menunggu di dalam mobil saja.
Begitu empat gadis itu tiba, mereka hanya tinggal pergi dari tempat terkutuk ini.
"Gue harap setelah ini kalian nggak akan pernah penasaran sama hal hal bodoh kayak gini."
Arsa terus berharap dalam kesendiriannya, namun, sayang, sampai matahari mulai terbenam tak ada satu orangpun yang datang.
.
.
.
.
part depan bakal flashback tentang peristiwa dua belas tahun yang lalu
vote dan komen untuk lanjutt
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...