Bau anyir langsung menyerang sosok pemuda yang terjepit di antara kemudi dan sandaran kursi. Kondisinya sangat jauh dari kata baik-baik saja. Darah di mana-mana mampu membuat kepalanya seakan pecah karena merasa pusing.
Air matanya mengalir begitu saja tak kala menyadari jika tubuhnya benar-benar tidak lagi bisa di gerakan. Tubuh ini sudah rusak, patah, dan luka besar di mana-mana. Dalam sisa kesadarannya, Arsa melirik ke samping.
Tepat kearah Pelita yang sudah tak sadarkan diri, di sisi bahu gadis itu tertancap sebuah pecahan kaca yang nampaknya cukup dalam.
"To-long."
Arsa benar-benar tidak bisa melihat kondisi ketiga temannya yang duduk di bangku penumpang. Yang ia tau, mobil hancur ini di penuhi dengan aroma amis dari darah mereka.
Dalam rasa sakitnya, Arsa menangis pilu. Teringat tentang petuah sang ibu yang selama ini tidak ia percayai dan hanya menganggap jika itu adalah cara Wida untuk mencegahnya kembali ke sini.
Orang yang sudah terikat, tapi, mampu keluar dari sana punya pantangan untuk tidak lagi menginjakkan kaki di sana. Ayahmu bilang, itu akan membuat yang kembali menetap atau mati saat berusaha keluar.
Menangis sejadi-jadinya pun tidak lagi ada gunanya, perlahan Arsa mampu melihat binar kemerahan melingkupi seluruh mobil mereka. Secara imajiner bisa mendengar tawa mengejek penuh penghinaan dari luar sana.
"Bukan kah sudah ku bilang? Sejauh apapun kau melarikan diri, jiwamu akan tetap menjadi milikku." Nyai Malati mendesis pelan, memutar-mutar tubuhnya seolah merasa sangat gembira.
Tubuh itu berhenti bergerak dan perlahan mendekat, menempelkan jemari hitamnya di bagian mobil yang sudah hancur, "Dulu, Rahadi juga mencoba melarikan diri dan lihat, ibumu mampu membuat orang-orang itu mengikat Rahadi untukku. Dan ... sekarang giliran mu, wahai keturunannya."
"Desa itu sudah hancur, semua orang-orang nya sudah saling membunuh, ku rasa aku akan kehausan setelah darahmu dan darah mereka mengering nanti."
"Mereka hancur, namun, percayalah tak akan ada kematian untuk mereka."
Suara melengking itu memenuhi seluruh penjuru tempat. Menandakan bahwa kemenangan ada di bawah kaki Nyai Malati.
Mata Arsa perlahan tertutup tak kala sebuah wajah penuh darah mendekati wajahnya. Katanya tujuh menit sebelum kematian pikiran kita akan memutar kenangan bahagia dari masa lalu. Apakah itu penyebabnya tadi Arsa memimpikan sang ibu?
Namun, tinggal di desa terkutuk itu bukanlah sebuah kebahagiaan. Ini malapetaka, yang harusnya sudah berakhir dan malah Arsa pancing untuk kembali keluar.
Tulisan di atas gapura adalah itu ... sebuah perjanjian dengan iblis.
Datang untuk menetap dan abadi di dalamnya. Siapapun yang pernah ataupun sudah menginjakkan kaki di sana tak akan bisa keluar dengan tenang apalagi seseorang yang sudah terlibat dengan festival berdarah itu.
Lilin adalah contohnya, gadis itu hanya cangkang kosong yang di isi oleh ketakutan, sesungguhnya separuh jiwanya sudah menjadi milik Nyai Malati, sama seperti Arsa.
Itulah sebabnya gadis itu selalu merasa di awasi, dan bunuh diri ... itu adalah cara Nyai Malati untuk mengambil separuh jiwa yang tersisa.
Lalu sekarang, Arsa merasakannya. Merasakan sebuah kematian yang tidak akan menjemputnya walau ia sudah tiada. Karena, pada dasarnya ini hanya akan menjadikan Arsa sebagai budak setia dari pernjanjian yang ayahnya lakukan.
Setengah jiwanya yang tersisa ... menjadi milik Nyai Malati seutuhnya.
Seandainya waktu bisa di ulang, mungkin Arsa lebih memilih menuruti ucapan sang ibu yang melarangnya untuk pergi.
Katanya, lebih baik di benci daripada kamu menyaksikan kematian teman-teman mu kan?
Wida benar, Arsa menyesal. Tidak hanya kematiannya namun kematian empat temannya malah berakhir seperti ini.
Di tempat terkutuk, yang mereka sebut sebagai tanah neraka.
.
.
.
TAMAT
.
.
.
note:
revisi dan sedikit rombak alur besar besaran setelah selesai semua ektra part
jangan lupa vote dan komen
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...