18. Pencarian

843 62 13
                                    

"Percaya sama gue, kali ini aja. Gue nggak akan pernah nyakitin kalian," ucap Arsa yang hampir putus asa untuk mendapatkan kepercayaan para sahabatnya.

Pelita dan Ona saling berpandangan dengan sisa tangis akibat cerita dari Arsa tadi. Perlahan, Pelita mengangguk tanda mereka harus percaya kepada Arsa setidaknya untuk yang terakhir kali.

Arsa mendesah lega, dirinya tersenyum tipis kemudian mengalihkan pandangannya pada Fiela yang belum juga sadarkan diri.

"Kita harus cari Lavia," ucap Ona pelan.

Mereka mengangguk menyetujui. Arsa bangkit kemudian melangkah mendekati Fiela. Membersihkan lumpur yang mengotori wajah cantik itu menggunakan tangannya.

"Bantu Fiela buat naik ke punggung gue."

Perlahan dua gadis itu bergerak membantu Fiela dengan tertatih-tatih. Atensi Arsa beralih pada Pelita dan Ona yang sering meringis tertahan.

"Kaki kalian luka?" tanya Arsa penuh kekhawatiran.

Ona mengangguk, "Kaki gue ke tusuk pisau, trus Pelita tadi jatuh. Kayaknya kaki dia terkilir."

"Masih bisa jalan?" Arsa jelas tidak mungkin menggendong ketiganya sekaligus.

Melihat keduanya mengangguk pelan, Arsa lantas menghela nafas lega. Mereka mulai melanjutkan perjalanan semakin memasuki hutan dengan Arsa yang memimpin.

"Kita ke mana?" tanya Ona sebab sedari tadi belum mendapatkan jawaban.

Arsa menatap hutan yang terlihat sangat gelap, langkahnya kali ini benar-benar hanya mengira-ngira ke mana arah tujuan yang benar.

"Tiang kembar," jawan Arsa pelan, "nggak tau kenapa, gue yakin Lavia pasti pergi ke sana. Karena nggak ada tujuan lain selain tempat itu."

Di belakang sana, dua gadis saling berpandangan. Mereka jelas merasa takut untuk percaya terlebih semua cerita itu adalah kebenaran.

"Gue nggak berniat apapun, lagian, gue yakin warga desa sekarang lagi nyari kalian semua," jelas Arsa sembari membenarkan letak Fiela di gendongannya, "mereka nggak akan berani pergi ke tiang kembar tanpa tumbal kecuali mereka siap jadi makanan Nyai Malati."

"Nyai Malati?" beo kedua gadis itu bersamaan.

Arsa mengangguk membenarkan, "Roh jahat yang mereka puja layaknya Tuhan di tanah ini. Lelulur kami membuat perjanjian sama Nyai Malati untuk keabadian dan kesuburan tanah, dengan bayaran mandi darah setiap beberapa tahun sekali atau mengucurkan desa ini dengan darah keturunan asli si pembuat perjanjian."

"Keturunan asli?" tanya Ona lagi, entah kenapa bulu kuduknya tiba-tiba merasa berdiri.

"Kakek, Ayah, Jero dan ... gue sendiri," jawab Arsa lirih. Pemuda itu merunduk menatap langkahnya sendiri, "itu sebabnya gue minta kalian buat lari ke arah selatan kalo tiba-tiba ada sesuatu."

"Supaya kamu yang jadi tameng penahan selama kami lari?" tanya Pelita dengan suara bergetar.

Arsa tidak lagi menjawab, pemuda itu tetap diam dan terus melanjutkan perjalanannya. Lagipula, tidak ada gunanya lagi menjawab jika para akhirnya mereka berakhir di sini bersama-sama.

...

Lavia menatap kosong tubuh hitam yang sudah tak berbentuk di hadapannya. Dengan susah payah, Lavia berhasil membuat pria ini terbaring beralaskan tanah, tidak lagi terikat seperti tadi.

Matanya terpaku menatap dada hancur dengan isi perut yang nyaris terbuyar. Sebenarnya bukan itu yang menjadi fokus utama Lavia, melainkan organ jantung si pria yang terlihat masih berdetak.

"T-teri-ma ka-kasih su-dah me-nurunkan s-saya."

Suara serak itu membuat Lavia tersadar kemudian bergerak mundur. Kengerian langsung menyerang hatinya tak kala menyadari pria ini masih terdasar walaupun tubuhnya sudah di ambang kehancuran.

"K-kau ta-kut, h-heh?" tawa pria itu terdengar amat mengerikan, matanya yang sudah nyaris keluar tu berputar melirik Lavia, "per-caya l-lah a-ku ju-juga t-takut."

Tubuh Lavia bergetar ketakutan, namun, tidak mampu untuk sekedar melarikan diri. Ada setitik penyesalan karena memilih meninggalkan teman-temanya tadi, sekarang, Lavia bahkan tidak tau di mana keberadaan mereka.

Angin lembut tiba-tiba berhembus, membuat bulu kuduk Lavia meremang. Dari ekor matanya, Lavia bisa melihat binar kemerahan berpindah-pindah tempat mengelilingi tiang kembar yang sudah rusak.

Dalam sekejap sosok itu menghilang, tapi, Lavia lantas tidak merasa dirinya kembali sendirian. Lavia merasa ada seseorang yang berdiri di belakangnya, memperhatikannya tanpa berpaling sedetikpun.

"D-dia da-da-tang."

Saat itu juga tiba-tiba sorot ketakutan Lavia berubah menjadi sorot penuh kebencian yang mendalam. Mata hitamnya berubah menjadi merah menyala dengan senyum bengis terukir di wajahnya.

"Bagaimana jika ku buat dia memakanmu lebih dulu?"

...

Suasana desa tidak bisa di bilang baik-baik saja. Teriakan penuh kemarahan menggema di seluruh penjuru tanah ini. Mereka menggila mencari di setiap sudut desa atas kehilangan orang-orang yang akan menyelamatkan mereka.

"Nyai Malati akan menghabisi kita semua," bisik seorang pria yang terlihat bergetar ketakutan.

Rudin, yang menjadi kepala desa setelah Rahadi di korbankan lantas mengacungkan goloknya tinggi-tinggi.

"KITA HARUS TEMUKAN MEREKA SECEPATNYA! JANGAN BIARKAN INI MENJADI KEKALAHAN KITA!" pekiknya dengan suara menggebu-gebu.

Rudin mengalihkan pandangannya kearah Jero yang terlihat cukup tenang, "Kita tumbalkan siapa saja yang kita dapatkan, utamakan untuk mencari keturunan Rahadi karena darahnya sangat murni."

Mendengar hal itu, Jero lantas menatap tak suka kearah Rudin. Sedangkan yang di tatap terlihat tak perduli kemudian mulai mengarahkan warga desa untuk kembali mencari tangkapan mereka.

Jero mengepalkan tangannya sembari menatap punggung Rudin. Dirinya kemudian berlari berlawanan arah. Menuju hutan gelap tanpa sedikitpun penerangan.

"Kau harus tau ke mana kau harus berterima kasih nanti, Sa. Saat aku mengatakan bahwa aku yang akan berkorban, aku tidak pernah berbohong. "

.

.

.

.

vote dan komen
list siapa yang mau di bikin jadi mayat
1.
2.
3.
dst....
to be continued.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang