Kesunyian mulai melanda ketika mereka keluar dari gapura desa terkutuk itu. Mobil mereka masih melaju di jalanan berbatu di tengah-tengah hutan.
Tiga gadis yang berada di dalam mobil terus menangis tak kala Lavia benar-benar tidak membuka matanya. Gadis itu seolah semakin nyaman menutup mata tanpa berniat untuk membukanya.
"Kita harus bawa Lavia ke rumah sakit," ucap Ona sembari mengusap kepala Lavia penuh kehati-hatian, berusaha tidak menyentuh luka akibat pukulan Jero tadi.
"Kita semua perlu ke rumah sakit," bisik Arsa tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang sangat gelap.
Arsa benar, nyatanya mereka semua memang penuh luka. Darah mengering di mana-mana, tidak ada yang baik-baik saja di antara mereka berlima.
"Seharusnya kita nggak pernah dateng ke sini," ungkap Pelita yang sudah menangis dalam diam.
Fiela mengangguk lemah, kepalanya terasa sangat sakit setelah darah mengucur dari telinganya tadi, "Harusnya sekarang kita lagi seneng seneng, bukan malah hampir mati kayak gini."
"Andai kita nurutin perkataan Arsa dan pilih tempat liburan lain, kenapa kita harus sebodoh itu cuma karena rasa penasaran?" Ona menutup wajahnya sendiri, menangis tertahan sembari menatap wajah Lavia yang berada di pangkuannya.
"Udah nggak ada gunanya lagi kalian nyesel, Kalian harus bersyukur kita bisa keluar dengan selamat," ucap Arsa yang tidak ingin teman-temannya terus di kerubuni rasa bersalah. Arsa jelas juga bersalah karena tidak tegas dengan permintaan empat gadis ini.
Lagipula, untuk apa menyesali semua hal yang sudah terjadi? Mereka sudah melewati masa sulit hingga akhirnya sampai di titik ini. Penyesalan yang selalu datang terlambat jelas tidak lagi berguna.
Arsa juga menyesal, sangat menyesal sampai rasanya untuk menangis aja dia tidak mampu.
"Sa."
Arsa menoleh kearah Pelita yang memanggilnya, "Hm?"
"Yang di makan Lavia ... itu benar ayah kamu?"
Rasanya menjijikkan bila mengingat betapa semangatnya Lavia memasukkan daging busuk itu ke dalam mulutnya tanpa henti, bahkan bau busuk itu sampai menempel di seluruh tubuh Lavia hingga saat ini.
Tatapan Arsa menjadi kosong sesaat sebelum dirinya mengangguk, "Iya, itu ayah gue."
"Kenapa dia di ikat?" tanya Ona dengan suara seraknya.
Ingatan Arsa melayang jauh ke masa lalu, lebih tepatnya di mana sang ibu diam-diam memberitahu warga desa tentang jalan pintas lain jika sampai mereka tidak mendapatkan orang untuk di tumbalkan.
Sebuah rahasia yang seharusnya tetap menjadi rahasia. Yang seharusnya tidak pernah di ketahui oleh orang lain selain keluarganya.
Kita tidak perlu bersusah payah mengambil orang dari luar desa, karena darah Rahadi bahkan cukup membasahi desa ini selama bertahun-tahun. Percayalah, jika suatu hari nanti kalian tidak punya pilihan, gantung Rahadi di tengah-tengah tiang kembar.
"Untuk menjadi pengganti dari mahasiswi yang berhasil kabur dari desa."
Mata Fiela tertuju pada wajah Lavia, "Kak Lilin?"
Arsa mengangguk saja, sekarang ia tau bahwa seseorang yang ikut berlari bersama mereka adalah kakak dari sahabatnya. Keadaan kembali sunyi, perjalanan mereka hanya di temani suara-suara binatang malam yang terdengar ricuh.
Suara nafas seperti sapi yang tengah di gorok mengalihkan atensi mereka. Empat remaja itu sontak menatap terkejut Lavia yang terbatuk-batuk hingga darah keluar dari mulutnya.
Mata gadis itu masih tertutup rapat, namun, darah dan muntahan daging busuk terus keluar dari mulutnya.
"Nafas Lavia putus-putus!" pekik Fiela yang sedang membersihkan darah dari wajah Fiela.
Mereka kembali menangis ketakutan lantaran suara nafas berat itu masih terdengar dari Lavia.
"Ngebut, please!" pinta Ona di sela isak tangisnya.
Arsa hanya mengangguk walaupun rasanya mustahil untuk keluar dari tempat sini dalam waktu yang cepat. Mereka bahkan belum keluar dari area hutan.
Isak tangis terdengar semakin kencang tak kala tubuh Lavia mengejang hebat, mata gadis itu terbuka, namun, hanya menampilkan bagian putih saja.
"Lavia! Sadar, La, kita pulang, kita selamat, La ... kita pulang berlima, a-ada Arsa juga, d-dia nggak sama kayak mereka ... dia masih Arsa kita yang dulu," ujar Ona sembari memeluk tubuh Lavia.
Fiela juga melakukan hal yang sama, menangis kencang karena Lavia tak kunjung berhenti. Pelita yang duduk di depan hanya mampu menangis sambil menutup mulutnya.
Arsa menatap ke depan, jalan raya sudah di depan sana. Tanpa ragu Arsa menginjakkan pedal gas dengan kencang apalagi dirinya kembali mendengar isak tangis dari belakang sana.
"L-La? Lavia?!"
Tubuh Lavia yang tadi mengejang perlahan melemas, tangan gadis itu bahkan terkulai lemah tak berdaya.
"Lavia?!" Tangis dua gadis di belakang sana semakin mengencang lantaran mereka benar-benar tidak lagi bisa merasakan denyut jantung ataupun deru nafas berat dari Lavia.
Arsa juga ikut menoleh benar-benar melupakan jika dirinya sedang menginjak pedal gas. Tanpa bisa di cegah mobil mereka keluar dari jalanan hutan, membelah jalan raya yang tengah di lintasi sebuah truk pengangkut kayu.
Sinar lampu dari mobil truk membuat mereka serentak menutup mata hingga akhirnya dua badan mobil saling bertabrakan, memicu percikan api sesaat yang mampu menyinari kegelapan yang melingkupi mereka.
.
.
.
.
nah hehe
vote dan komen sayang
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...