22. Ilusi?

865 65 10
                                    

Arsa berkedip berulang kali tak kala merasa sinar matahari mulai mengusik penglihatannya. Saat netranya terbuka, pandangan Arsa terpaku pada atap rumah tanpa langit-langit yang melindunginya.

Nafas Arsa seolah tercekat, dengan rasa ragu pemuda itu memberanikan diri untuk melirik ke sekeliling kamar yang tampak tidak asing baginya.

Rumah ini?

"Arsa, Nak, syukurlah kamu udah sadar, masih ada yang sakit? Kepala kamu pusing?"

Pandangan Arsa beralih pada sosok wanita yang baru saja memasuki kamar, sambil membawa sepiring pisang rebus di tangannya, "Arsa?"

"Ma-Mama?"

"Iya, Arsa perlu sesuatu?"

Secepat mungkin Arsa duduk, pemuda itu menatap sekelilingnya dengan takut-takut, "Kenapa kita di sini, Ma?!"

Wajah Wida tampak kebingungan, "Emangnya kita harus ke mana selain di sini, Sa? Aneh kamu."

Arsa menggeleng tak percaya, pemuda itu menatap lengannya yang terlihat jauh lebih kurus, "Seharusnya kita udah keluar dari sini, kenapa kita di sini lagi, Ma? Seharusnya kita udah hidup di kota lain, Arsa ... temen-temen Arsa di mana?! Mereka baik-baik aja, kan, Ma? Bukannya kami abis kecelakaan, kenapa---"

Kalimat Arsa terhenti tak kala Wida tiba-tiba menjatuhkan piring yang ia bawa, wanita itu menutup mulut dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Arsa ... apa yang kamu bicarakan? Teman-teman apa? Kecelakaan apa, Nak?" tanya Wida sambil mendudukkan diri di pinggiran ranjang. Tangan bergetarnya mengusap sisi wajah Arsa dengan lembut, "kamu masih sakit, tidur lagi, ya?"

Arsa menggeleng, mata pemuda itu juga sudah berkaca-kaca ketika melihat keanehan yang ada, "Arsa mau cari temen-temen Arsa."

"Arsa, Mama janji bakal bawa kamu keluar dari sini, tapi, tolong jangan membuat dunia lain di dalam pikiran kamu. Kita masih di sini, terjebak entah sampai kapan. Tolong tetap sama Mama, tolong tetap hidup di dunia ini, bukan dunia imajinasi kamu."

Kontan seluruh tubuh Arsa bergetar mendengar penuturan dari sang ibu. Air matanya mulai berjatuhan, menatap Wida yang berusaha menahan tangisnya.

"Mama ngomong apa, sih? Ini bukan imajinasi, Ma, kita berdua lari waktu malam festival itu, kita selamat trus kita pergi jauh dari sini berkat menumpang sama mobil muatan kayu, Ma? Kita udah hidup di luar sana, bahkan, bahkan aku juga udah berhasil lulus sekolah ... ki-kita udah berhasil hidup normal, Ma!" jelas Arsa sembari meremat selimut tipis yang membungkus kakinya.

Sedangkan Wida hanya mampu menangis pilu saat mendengarkan semua itu. Perlahan, jemari Wida menggenggam tangan puteranya lembut.

"Mama janji bakal ngasih kamu semua itu, Nak, Mama janji," ucap Wida di sela isak tangisnya.

Arsa tertawa karena tak percaya, pemuda itu melepaskan genggaman mereka kemudian memilih untuk turun dari ranjang. Matanya terasa semakin memanas tak kala menyadari jika tubuhnya menjadi jauh lebih kecil dari sebelumnya.

Sambil terisak, Arsa melangkah keluar meninggalkan Wida yang masih menangis. Rumah mereka benar-benar terasa seperti dulu, langkah kaki Arsa membawanya untuk menunu pintu rumah.

"Nggak mungkin," gumam Arsa tak kala melihat sosok rahadi tengah mengasah golok di halaman depan dekat pohon beringin.

Tubuh pria itu nampak segar bugar tanpa sedikitpun luka yang menghiasi tubuhnya. Langkah kaki Arsa kian memberat, namun, tetap ia paksakan untuk mendekati Rahadi.

"A-Ayah?"

Pria itu menghentikan kegiatannya lalu mendongak, raut terkejut jelas terlihat, "Arsa, sudah sadar? Bagus sekali, Ayah kira kau akan melewatkan festivalnya."

"Fes-festival?" tanya Arsa pelan.

"Iya, datanglah nanti malam, kita akan berpesta sekaligus memandikan mu dengan darah."

Tawa Rahadi mengudara hingga bahu lebar pria itu bergetar cukup kencang. Mata Rahadi menatap tajam kearah Arsa sambil menyeringai.

"Jangan coba-coba untuk lari atau ku habisi Ibumu."

Dengan itu, Arsa berlari kembali ke rumah, menemui Wida yang tengah membersihkan pecaha piring.

"Mama!"

Wida nampak terkejut hingga tanpa sengaja melukai dirinya sendiri, "Arsa, kenapa teriak-teriak?"

"Ki-kita harus lari sekarang! Kita harus pergi, kita ha-harus hidup di tempat lain."

Jika memang kehidupan dan orang-orang itu adalah bayangan Arsa, maka Arsa akan mewujudkannya segera. Tidak perduli bagaimana caranya, Arsa harus mendapatkan kehidupan itu.

Wida perlahan berdiri, memegang bahu tegap Arsa. Wanita itu menangis tersedu-sedu sembari memeluk Arsa yang terdiam kebingungan.

"Pulang, Arsa, pulang. Mama mohon, jangan terlalu nyaman sama mimpi kamu."

Suara itu terus berdengung hingga rasanya membuat telinga Arsa hampir pecah. Pandangannya menggelap seketika, entah apa yang terjadi setelahnya, karena yang Arsa ingat adalah dirinya melihat lautan darah yang tergenang membasahi tubuhnya sendiri.

.

.

.

.

kamu bingung? aku pun bingung
kita semua jadi bingung
vote dan komen ya
to be continued.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang