9. Tiang Kembar

1.8K 117 26
                                    

Beberapa jam yang lalu.

Arsa dengan perasaan cukup ragu berjalan mengikuti Jero yang berada di depannya. Beberapa kali pemuda itu menoleh kebelakang, hanya untuk memastikan jika empat gadis konyol yang ia tinggalkan tidak nekat membuntutinya diam-diam.

"Mereka tak akan hilang," bisik Jero tanpa menoleh ke belakang.

Arsa memutar bola matanya malas, pemuda itu menatap ke sekeliling tempat yang selalu sunyi ketika siang seperti ini. Sudah sejak dulu, rupanya mereka benar-benar masih terjebak kebiasaan lama.

"Kamu tidak kenal mereka, empat empatnya ceroboh, selalu tidak memikirkan resiko yang bisa terjadi," balas Arsa kemudian mendengus kesal ketika mengingat keempat sahabatnya itu.

Jero tersenyum sedih tanpa di ketahui oleh Arsa, "Kamu terlihat sangat peduli, bisa saja mereka malah berusaha membongkar kedok tanah ini. Bukannya itu sama saja seperti memojokkanmu?"

"Memang," gumam Arsa yang hanya bisa di dengar oleh dirinya sendiri.

Dia jelas mendengar misi bodoh yang gadis-gadis itu rencanakan. Itulah sebabnya Arsa bersikeras untuk membawa keempatnya pulang.

Arsa hanya tidak ingin sesuatu yang sudah terkubur lama kembali di bongkar, Arsa berjanji akan menceritakan semuanya saat mereka tiba di kota nanti. Namun, Arsa tidak akan membiarkan mereka mencari tau sendiri, itu terlalu beresiko.

"Mereka masih takut berada di bawah sinar matahari?" tanya Arsa ketika mereka memasuki wilayah hutan bagian Timur yang cukup gelap karena di tumbuhi pepohonan dengan dedaunan lebat.

Jero mengangguk, "Bau mereka semakin menguar jika terkena sinar matahari."

"Bau bangkai memang menjijikkan."

Jero tidak tersinggung, pria itu malah tertawa dengan ciri khas suaranya yang serak itu, "Kamu benar, Sa."

Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah tanah lapang. Tidak terlalu luas tetapi cukup mencolok karena di kelilingi pepohonan. Bulat sempurna, dengan sebuah tiang kembar berdiri tepat di tengah-tengah lingkaran.

Arsa menahan nafasnya sendiri, matanya seketika memanas ketika melihat seorang pria yang terikat tepat di tengah-tengah antara kedua tiang kembar.

Kepala pria itu terkulai lemah, dengan sekujur badan di penuhi luka sayatan yang tak kunjung mengering. Pria ini ... yang dulu terlihat paling gagah di antara warga desa sekarang menjadi orang yang paling tidak berdaya.

Ayahnya.

Saat Jero menarik tangannya untuk melangkah lebih dekat, Arsa benar-benar tidak bisa menghindar dari bau bangkai yang teramat menyengat.

"Dia butuh setengah jiwamu lagi untuk terus mengaliri desa ini dengan darahnya," bisik Jero seraya menatap miris pria yang merupakan kakak dari ibunya, "atau sebagai gantinya, desa ini harus mandi darah di setiap sudutnya."

Arsa masih membisu, pemuda itu masih tenggelam saat menatap tubuh yang mulai menghitam itu. Sudah berapa tahun pria ini benar-benar mengabdikan hidupnya untuk kepuasan warga desa?

Pemuda itu menunduk, menatap tepat di bawah genangan darah yang tidak pernah dibiarkan mengering. Setiap darahnya hampir habis terserap tanah, maka akan ada luka sayatan baru di sekujur tubuh pria itu.

Arsa selalu berdoa agar pria itu tidak di terima baik di langit ataupun bumi, tapi, kenapa hatinya masih terasa sakit sekarang?

Pria di hadapannya sama sekali tidak bergerak, namun, Arsa masih dengan jelas dapat mendengar rintihan pelan yang berasal dari pria ini.

"Jadi aku harus memberikan jiwaku sepenuhnya?" Agar dirinya menjadi bagian dari mereka yang selalu haus akan darah dan daging manusia? Agar mendapatkan keabadian untuk tetap terus berada di bumi ini?

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang