"AKHH!"
Tumbuh tinggi Arsa terjerembab tak kala sosok di gendongannya tiba-tiba tersadar dan langsung mendorong kepalanya kencang. Keduanya terjatuh dengan posisi Fiela yang menimpa punggung tegap pemuda itu.
"El, astaga!" Pelita langsung mendekat untuk membantu Fiela menyingkir dari Arsa.
Begitupula Ona yang membantu Arsa untuk segera berdiri. Andai situasi mereka tidak sedang berada dalam bahaya seperti ini, Ona jelas akan menertawakan wajah Arsa yang di penuhi tanah dan dedaunan kering.
"Gue kira tadi kepala siapa," bisik Fiela sembari mengusap wajahnya yang terasa nyeri.
Mata gadis itu terpaku ketika baru menyadari jika yang sedang bersama mereka adalah Arsa. Fiela langsung menarik dua temannya untuk bergerak menjauh.
"Lo mau bawa kita ke mana?! Kenapa kalian berdua mau ikut dia?!" tanya Fiela histeris.
Ona menghela nafasnya kasar, gadis ini jelas tidak mendengar cerita dari sudut pandang Arsa tadi. Dirinya melepaskan genggaman kemudian mengelus punggung Fiela lembut.
"Arsa nggak akan nyakitin kita, kita harus percaya sama dia, El," ucap Ona sembari menganggukkan kepalanya meyakinkan.
Fiela lantas menoleh kearah Pelita yang juga tersenyum menenangkan sehingga dirinya langsung menghela nafas panjang. Fiela menatap Arsa yang hanya terlihat samar-samar.
"Maaf, Sa."
Arsa mengangguk pelan sembari mengusap wajahnya sendiri, "Nggak masalah, sekarang kita harus cari Lavia."
Mereka mengangguk setuju lalu kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Fiela yang baru saja sadar hanya mengikuti langkah tiga temannya sembari menggandeng lengan Pelita.
"Gue ngerasa kita di ikutin," bisik Fiela memecah keheningan.
Arsa melirik sekilas, sebelum kembali menarap ke depan. Dari jaraknya saat ini, Arsa dapat melihat remang-remang cahaya api yang terlihat berkobar.
"Mereka pasti nyari kita. Jangan coba-coba buat mencar, percaya ataupun enggak, mereka bisa tiba-tiba muncul dari kegelapan sana," jelas Arsa yang sebenarnya hanya tidak ingin mereka terpisah lagi.
Arsa yakin ini sudah masuk tengah malam, harusnya puncak pesta sedang terjadi saat ini. Mereka akan beramai-ramai berebut tubuh busuk ayahnya untuk di jadikan santapan malam demi sebuah keberkahan dari Nyai Malati.
"Ada api di depan sana," ucap Ona sembari menunjuk kearah depan.
"Itu tanah lapang. Tempat di mana tiang kembar di bangun."
Tubuh mereka menegang, terlebih Fiela yang sama sekali tidak mendengar apapun rencana dari tiga temannya ini.
Perlahan, langkah mereka mulai memijak tanah lapang yang tampak di hiasi cahaya api. Tubuh mereka bergetar pelan tak kala mata mereka menangkap sesosok perempuan tengah menunduk dengan dua tangan yang bekerja cepat.
Lebih tepatnya bekerja untuk memasukkan daging-daging busuk milik seseorang yang terbaring tak berdaya di hadapan gadis itu.
"Lavia?!" pekik Ona tertahan, gadis itu sangat hafal akan pakaian yang Lavia kenakan tadi.
Di depan sana jelas adalah sosok Lavia, yang tengah ... memakan bangkai seseorang?
"A-Ayah."
Tiga gadis yang sudah menangis ketakutan itu lantas menoleh cepat kearah Arsa yang juga terdiam membeku. Mereka kembali menatap Lavia yang nampaknya sama sekali tidak terusik.
"K-kita harus berhentiin Lavia," usul Pelita sembari menahan mual di perutnya sendiri.
Fiela mengangguk setuju, "Kira harus pergi sebelum terlambat."
"BERHENTI!"
Tubuh empat orang itu kembali menegang. Arsa yang mengenal dengan jelas suara itu lantas merebut goloknya yang sedari tadi berada di dalam genggaman Ona.
"Kau---"
Jero mengangkat tangannya sendiri, memberitahu bahwa dirinya datang dengan tangan kosong.
"Pergilah secepat mungkin, sekarang! Warga desa mencari kalian dengan sangat gila! Cepat pergi selagi mereka masih berkeliaran di dalam hutan!" perintah Jero dengan tegas tanda dirinya tidak ingin di bantah.
Arsa menggeleng kencang, "Lavia---"
"Kau tau apapun yang ada di depan sana jelas bukan lagi temanmu! Tinggalkan dia, dan pergi dari sini!"
"ENGGAK!" Pelita menggelengkan kepalanya tak setuju, air mata gadis itu kembali mengalir deras, "kami datang berlima, dan pulang juga harus berlima."
"Kami nggak akan bisa ninggalin Lavia di sini," sambung Fiela yang langsung di angguki oleh tiga gadis lainnya.
Jero mengusap wajahnya kasar, merasa jengkel dengan ikatan mereka yang seolah benar-benar tidak bisa di lepas.
"Tapi raganya sudah di ambil oleh Nyai Malati!"
"Pasti ada cara!" sentak Ona kencang, "El ... El juga di rasuki, tapi dia bisa kembali sadar. Pasti ada cara untuk bikin Lavia balik. Kami harus pergi berlima, tolong."
"Ku rasa hanya ada satu cara. Berjanjilah setelah ini kalian harus pergi."
Bersamaan dengan kalimat itu, angin lembut tiba-tiba berhembus. Mereka dengan kompak menoleh kearah tengah tanah lapang.
Lavia masih di sana, namun, gadis itu tidak lagi bergerak. Kedua tangannya tersimpan di samping tubuh dengan jemarinya yang masih menggenggam sebongkah daging.
"Dia sadar," bisik Jero sembari mengambil sepotong kayu yang berada tak jauh dari dirinya, "sadar kalau santapannya yang lain ada di sini."
Benar saja, hanya sesaat sebelum tiba-tiba tubuh Lavia berbalik dan berlari kearah mereka dengan sangat kencang. Wajah gadis itu tampak sangat berbeda, dengan sorot merah memenuhi mata belum lagi dengan urat-urat menonjol yang timbul di leher gadis itu.
"Akhirnya kalian datang!"
Jero berlari berlawanan arah sambil mengacungkan kayu di tangannya tinggi-tinggi.
"Enyahlah dari tubuh gadis ini!"
Bugh!
Dua kali pukulan di kepala berhasil membuat tubuh gadis itu tumbang tak sadarkan diri. Jero menoleh, meminta Arsa untuk segera mengambil alih.
"Pergi menuju mobilmu, aku akan berjaga di depan gapura." Jero membuang kayunya asal, kemudian memegang kedua bahu Arsa erat sehingga pemuda itu menatapnya, "berjanjilah untuk menabrak apapun yang menghalangi jalanmu, Sa. Dan setelah kau keluar, berjanjilah untuk melupakan tanah ini."
.
.
.
.
lari lagi nih
vote dan komen sayang
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...