8. Kesempatan Untuk Mengungkapkan

1.9K 117 26
                                    

Pelita sudah kembali seperti biasa setelah berhasil di yakinkan jika Fiela memang salah lihat. Gadis itu juga cukup tenang dengan kalimat yang Arsa ucapkan tadi. Mungkin memang hanya jin muslim yang mengikutinya, menemani Pelita atau bahkan untuk menjaga Pelita dari wajah asing itu.

"Kayaknya kita emang harus pulang," celetuk Ona yang baru saja kembali dari dapur. Gadis itu mendudukkan diri di lantai, entah kenapa hawa terasa sangat panas padahal di sana tengah mendung.

"Kenapa?" tanya Lavia pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang belum sempat ia baca lagi.

Mereka benar-benar jarang memainkan ponsel di sini karena tidak ada yang bisa di buka. Satu batang sinyal saja tidak di temukan di tempat ini. Belum lagi mereka memang harus mengirit baterai agar tidak terlalu sering menggunakan power bank.

"Sayuran yang kita bawa udah pada busuk, tinggal makanan instan yang nggak seberapa itu," jelas Ona sembari menggigit sosis yang tadi ia ambil, sedikit merasa heran kenapa secepat itu proses pembusukan terjadi, "warga desa belanja kebutuhan di mana, ya? Ada pasar kah?"

"Mungkin mereka bertahan sama hasil alam," ucap Pelita pelan, agak tak yakin jika ada pasar di tempat semacam ini.

Fiela mengangguk setuju, gadis itu hanya diam seraya merebahkan diri di atas kursi panjang. Merasa lelah entah karena apa, mungkin berada di sini benar-benar menguras energi.

Suara pintu yang di ketuk pelan membuat arah pandang mereka tertuju pada satu titik. Sontak saling tunjuk agar salah satu dari mereka membuka pintu karena Arsa sedari tadi malah berdiam diri di kamar.

Ona dengan segenap kekesalannya mengalah karena tiga gadis sialan yang merangkap menjadi sahabatnya itu malah menunjuk Ona bersamaan.

Saat pintu terbuka, mata Ona langsung menangkap sosok yang menyambut mereka pertama kali ketika datang, "M-Mas Jero? Kenapa, ya?"

Wajah pria itu terlihat sangat serius, kedua tangannya bertaut di depan sembari menarap kesana-kemari tanpa henti. Gelagat tak biasa yang membentuk ketakutan tersendiri di pikiran Ona.

"Arsa ... ada Arsa?" tanya Jero sembari berusaha mengintip ke dalam rumah.

Ona perlahan mengangguk kaku, dapat dilihatnya wajah Jero agak melembut. Pemuda itu meremas kedua tangannya pelan.

"Saya ada perlu, boleh panggilkan?"

Dengan cepat Ona melangkah menuju kamar Arsa, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang tiga gadis lainnya layangkan.

Hanya dalam beberapa ketukan, Arsa langsung membuka kamar. Pemuda itu terlihat seperti baru saja bangun tidur. Wajahnya terlihat sedikit pucat dari biasanya.

"Ada Kakak lo nyariin."

Dalam satu kalimat itu, Arsa segera melangkah menuju pintu. Meninggalkan Ona yang langsung kembali bergabung bersama teman-temannya.

Arsa keluar dari rumah, membawa Jero sedikit bergeser agar tidak terlihat oleh para sahabatnya.

"Apa?"

Jero menatap kesana-kemari, "Ikut aku sebentar."

Arsa jelas menggeleng tidak setuju, mata sipitnya menatap kearah pintu yang setengah tertutup, "Teman-temanku---"

"Kunjungi dia sebentar, Arsa. Setelah itu pulanglah," potong Jero cepat, nafas pria itu menderu dengan cara tak biasa.

Kegelisahan kembali menguasai Jero dan itu semua tidak pernah luput dari pandangan Arsa.

Yang di minta ikut menggeleng cepat, Arsa tersenyum remeh seolah alasan Jero adalah hal yang tidak akan pernah Arsa lakukan.

"Untuk apa? Mengunjungi orang yang sudah menghancurkan hidup Mama?" tanya Arsa seraya terkekeh pelan, kesedihan mulai menguasai hatinya. Luka yang sebagian besar belum sembuh perlahan kembali terbuka lebar.

"Dia ayahmu." Jero bersikeras, dia harus segera membawa Arsa menjauh sebelum mereka datang.

"Aku bahkan berdoa supaya dia tidak di terima, baik di langit ataupun bumi. Ayahku ... pria itu tidak lebih dari iblis yang membelenggu Mama dan aku selama ini," ungkap Arsa sembari mengepalkan tangannya.

"Lalu setelah berhasil lepas kamu dengan bodohnya kembali?!" tanya Jero dengan suara penuh amarah, dada pemuda itu naik turun dengan cepat, "di mana otakmu, Sa?"

Arsa terdiam karena tidak bisa memberikan jawaban apapun. Dua belas tahun yang lalu, peristiwa berdarah yang berhasil membuat Arsa dan ibunya keluar dari belenggu tempat ini.

"Dia mencium kehadiran keturunannya, Sa. Hanya butuh sedikit untuk membiarkannya tetap hidup," ucap Jero lagi, pemuda itu maju selangkah, mendekatkan bibirnya ke telinga Arsa, "jangan memaksa desa ini untuk mandi darah lagi."

Dengan itu, Arsa kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Jero yang hanya mampu terdiam. Arsa melangkah mendekati teman-temannya yang sudah berdiri. Hendak menguping lebih dekat.

Pemuda itu menoleh kebelakang sejenak, "Gue harus pergi sebentar, kalian tunggu di sini. Jangan keluar, jangan buka pintu buat siapapun selain gue. Jangan bertingkah bodoh."

"Kamu mau ke mana?" tanya Pelita dengan raut khawatir.

"Gue ada urusan, cuma sebentar. Inget kata-kata gue tadi!"

...

Entah sudah berapa lama sejak kepergian Arsa, yang jelas matahari mulai terbenam. Menyisakan bumi ini penuh dengan kegelapan, lampu-lampu minyak sudah mereka nyalakan, empat gadis itu memilih untuk menyantap mie instan sambil duduk lesehan di ruang tamu.

"Pulang nanti kita bener-bener harus liburan," ucap Fiela sembari mengipasi wajahnya, "berasa sia-sia banget ke sini."

Ona dan Pelita mengangguk setuju, hanya Lavia yang termenung sambil menatap keluar jendela.

"Kalian nggak penasaran kemana Arsa pergi?" tanya Lavia pelan, gadis itu lalu menatap teman-temannya, "gue penasaran, kenapa dia nggak pulang-pulang?"

"Gue juga," celetuk Ona sembari mengangguk cepat, matanya ikut menatap pintu rumah yang tertutup rapat.

"Aku khawatir," ucap Pelita kemudian berdiri, berjalan ke arah jendela hanya untuk mengintip ke luar sebentar, "apa dia baik-baik aja?"

Keempatnya lalu terdiam, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Namun, desa ini adalah tanah kelahiran pemuda itu, lagipula yang membawanya adalah Jero, sepupu Arsa sendiri.

"Jangan berpikiran yang nggak-nggak, bisa aja dia emang banyak urusan, Arsa juga udah lama banget nggak pulang ke sini, kan?" Ona berusaha menyalurkan pikiran positif kepada teman-temannya walaupun pikirannya sendiri sudah kalut.

"Arsa nggak ada, kita bahkan nggak tau dia baik-baik aja atau sebaliknya di luar sana," bisik Lavia seraya melirik temannya satu persatu.

Deheman Fiela membuat atensi beralih kepada gadis itu, "Bukannya ini kesempatan bagus buat kita cari tau semuanya? Tentang tanah ini, tentang rahasia yang terkubur di bawah tempat ini."

Hening kembali menguasai, Pelita melangkah untuk kembali menuju teman-temannya yang masih dalam posisi semula.

"Jadi, maksud kamu---"

"Kita keluar?" potong Ona cepat, ada kilatan tertantang dalam iris gadis itu.

Pelita hendak menolak, namun, kembali terdiam ketika melihat tiga sahabatnya malah mengangguk menyetujui usulan itu. Hatinya hanya mampu berdoa untuk keselamatan mereka dan juga keselamatan Arsa di luar sana.

"Ambil hp kalian, jangan nyalain senter apapun. Kita keluar lewat pintu belakang."

.

.

.

.

ayo tebak, mereka berhasil atau malah nambah masalah Arsa? mwhehehehehhehe
to be continued.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang