12. Pengorbanan

1.7K 140 14
                                    

Jero melangkah bergabung menuju keramaian warga desa di tengah tanah lapang. Warga yang semuanya adalah laki-laki itu membentuk empat kelompok berbeda yang masing-masing sedang menancapkan dua tiang kembar di masing-masing tempat.

Pria itu lebih memilih melangkah menuju seseorang yang masih terikat tepat di tengah-tengah tanah lapang. Jero menunduk, menatap genangan darah yang lebih sedikit daripada tadi siang.

Tangan kasar Jero terangkat, jemarinya yang menggenggam sebilah pisau tipis perlahan menyayat dada telanjang pria di hadapannya.

"Su-dah t-tidak ber-gu-na ... a-aku s-sudah kekeri-ngan." Rintihan penuh rasa sakit itu terdengar, dengan agak di paksakan, pria yang tengah terikat itu mengangkat kepalanya. Menatap Jero menggunakan matanya yang sudah cekung.

"Kau bangun? Ku bawa Arsa dengan susah payah kemari, tapi, kau tetap diam," ucap Jero datar.

Pria itu; Rahadi tertawa serak hingga luka di bibirnya kembali bernanah. Matanya mengedar ke segala arah, menatap orang-orang yang dulu tunduk di bawah kakinya. Sekarang, orang-orang itu memeras darahnya hingga mengering seperti ini.

"Di-a t-tum-buh dengan ba-baik."

Jero mengangguk membenarkan, "Keputusan Bibi untuk membawa Arsa pergi adalah yang membuat Arsa mampu tumbuh dengan baik. Aku senang sekali saat Bibi mengungkapkan fakta jika darahmu bisa mengaliri desa ini tanpa harus mengorbankan orang lain."

"Wi-da, dia li-licik se-kali," bisik Rahadi pelan tetapi bibirnya menarik sebuah senyuman tipis.

"Kau yang licik, Paman. Kau menjebaknya untuk hidup di desa ini."

Rahadi termenung, mata cekungnya kembali menelisik ke segala arah. Lihatlah orang-orang bodoh ini mulai memandangnya dengan tatapan lapar, padahal, Rahadi adalah orang yang membuat mereka menjadi seperti ini.

"A-pa kau a-akan i-kut memakan bangkai P-pamanmu?" tanya Rahadi lemah, namun, masih dengan senyumnya.

Jero memasang wajah bengis yang kelaparan, pria itu melangkah semakin mendekat. Menghirup tubuh Rahadi seolah pria itu adalah santapan paling nikmat.

"Kenapa aku melewatkan kesempatan untuk memakan orang yang sudah membuat ibuku tiada?" tanya Jero sembari menyeringai tipis, "aku, orang pertama yang akan membelah kepalamu."

Setelah mengatakan itu, Jero memilih menjauh meninggalkan tempat ini. Tidak berniat sama sekali untuk bergabung mempersiapkan festival.

Orang-orang itu juga tidak akan berani memprotes apapun, karena, setelah kepergian Arsa, hanya dirinya lah satu-satunya orang yang memiliki hubungan darah dengan Rahadi, sang tuan mereka dahulu.

Matahari sudah mulai terbit ketika Jero sampai di rumahnya. Saat memasuki rumah, mata pria itu membola terkejut ketika melihat tak ada Arsa di rumahnya.

"SIAL! Anak bodoh itu tidak pernah mendengarkan aku!"

Jero kembali berlari keluar, menuju sebuah tempat yang akan Arsa datangi. Sinar matahari yang sudah mulai naik membuat jarak pandang Jero menjadi luas, tidak sulit baginya untuk berlari cepat dan menyusul langkah adiknya.

Mata Jero semakin menajam saat melihat sosok pemuda yang tengah berusaha menyebrangi sungai. Dengan emosinya, Jero mengambil sepotong kayu asal kemudian melemparnya tempat mengenai punggung pemuda itu.

"BODOH!"

Tubuh Arsa benar-benar terjerembab jatuh ke dasar sungai yang cukup dangkal. Pemuda itu secepatnya bangkit tak kala rasa mual mulai menyerang perutnya.

"SUDAH KU BILANG KAU CUKUP MENUNGGU DI DALAM RUMAH SAMPAI BESOK MALAM, SIALAN!" sentak Jero seraya menarik Arsa agar berdiri sebelum kembali membanting pemuda itu ke pinggiran sungai, "sampai kapan kau akan bertindak bodoh, adikku?"

"Lepas!" Arsa memberontak ketika Jero hendak mencengkram dagunya, "kau tak akan mengerti, teman-temanku harus keluar dari sini! Jangan libatkan mereka!"

"Lalu kau bersedia menjual jiwamu, hah?!"Jero meludah ke samping, merasa benar-benar geram dengan tingkah Arsa yang selalu gegabah tanpa memikirkan akibatnya, "kau mau mengabdi---"

"IYA! AKU AKAN MENGABDI! N-Nyai Malati ... dia menginginkan setengah jiwaku, kan?! Aku akan memberikannya! Akan ku buat pria itu tetap hidup untuk waktu yang lama!  Aku akan menetap! AKU AKAN MENETAP MENJADI PELAYANNYA SEPERTI AYAHKU!" teriak Arsa sembari memukul dadanya berulang kali, rasa sesak ini sungguh membuatnya tersiksa. Dia tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika sampai para sahabatnya berakhir di tiang kembar.

Jero menatap benci Arsa yang sudah jatuh berlutut. Pria itu mengalihkan pandangannya ke sembarangan arah yang sudah mulai tersinari matahari.

"O-orang tua mereka menitipkan mereka kepadaku, a-apa yang harus aku katakan jika mereka mati di sini?" tanya Arsa putus asa. Pemuda itu mendongak menatap Jero kemudian meraih pergelangan kaki sang kakak, "aku mohon, biar aku saja ... lepaskan mereka. Biarkan mereka pergi, minta mereka lari ke arah selatan selagi matahari belum terbenam."

"Aku tak akan lari, aku akan menunggu di sini, K-Kak, kau saja yang temui mereka. Aku mohon!" lanjut Arsa memohon dengan penuh harapan.

Jero menunduk, menatap Arsa yang terlihat begitu putus asa, "Lalu ibumu? Apa yang akan dia lakukan ketika tau jika anaknya yang berhasil ia bebaskan malah berakhir di sini? Dia sendirian, Sa."

Arsa mematung, sedari tadi dirinya melupakan sang ibu yang tertinggal di kota. Sejak  peristiwa itu, mereka hanya punya satu sama lain. Mereka berjuang untuk hidup di tempat yang baru.

Jero ikut berjongkok, menyentuh kedua bahu Arsa yang mulai bergetar, "Kau satu-satunya adikku yang tersisa. Kau yang berhasil keluar, kau punya kehidupan normal, Sa ... kau punya masa depan di luar sana. Apa kau pikir aku akan membiarkanmu berkorban?"

Arsa terisak saat mendengar hal itu, dirinya mengerti betapa Jero memperdulikannya, namun, Arsa juga tidak akan membiarkan empat gadis itu menjadi korban.

"Mereka sudah seperti keluargaku. Selain Mama, mereka adalah orang-orang yang sangat berarti untukku," bisik Arsa di sela isak tangisnya.

Jero menatap sungai keruh yang mengalir dengan arusnya tidak terlalu deras sebelum mengalihkan pandangannya menuju sebrang sungai.

"Kembalilah ke rumahmu," ucap Jero sembari berdiri.

"Kak---"

"Aku yang akan menjemput mereka, siapkan mobilmu, dan segeralah pergi ketika empat orang itu tiba."

Jero melangkah untuk menyebrangi sungai. Kaki-kakinya terasa ngilu ketika memijak benda-benda yang sangat ia kenali.

Tulang belulang manusia, karena sungai ini adalah pemakaman untuk warga desa.

Jero sempat menoleh untuk melihat Arsa yang juga memandanginya. Sampai kapanpun Jero tidak akan membiarkan pemuda itu berakhir seperti mereka.

Jika empat gadis itu memang sangat berharga untuk Arsa, maka biarkan dirinya yang berkorban. Jero juga memiliki garis keturunan yang sama.

Seperti Rahadi yang berakhir di tiang kembar, begitupula Jero yang akan menggantikannya.

.

.

.

.

nah, jadi intinya siapapun yang punya garis keturunan yang sama seperti rahadi, mereka bisa berkorban dengan mengabdi untuk desa dengan cara mengikat diri di tiang kembar supaya desa ini tidak perlu mandi darah.
jadi, ada yang penasaran kenapa rahadi bisa berakhir di tiang kembar padahal dua belas tahun lalu mereka memandikan desa dengan darah?
jawabannya ... ikutin terusss
jangan lupa VOTE DAN KOMEN
to be continued.

Woso Tanah Neraka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang