Hampir sekitar dua jam menghadapi jalan penuh bebatuan, akhirnya mereka sampai di jalanan tanah biasa. Tanpa batuan ataupun lubang, murni tanah yang sudah mengeras di di tumbuhi rerumputan.
Perlahan, gapura yang terlihat cukup tua menyambut penglihatan mereka. Itu seperti di bangun menggunakan kayu dan bambu yang di anyam rapi. Terdapat seorang pria yang mungkin lebih tua beberapa tahun di atas mereka, berdiri di luar gapura seolah menanti kedatangan tamunya.
Arsa mengemudikan mobil ke arah tanah kosong di tepi jalan agar tidak menghalangi gapura. Pemuda itu melepas sabuk pengaman lalu menoleh kearah para sahabatnya.
"Itu Kakak gue."
Fiela menatap pria yang masih tidak bergerak di sana, "Kandung?"
"Sepupu."
Arsa turun lebih dulu, menyapa pria di sana dengan sebuah pelukan. Keempat gadis yang menyaksikan itu lantas ikut turun untuk menyapa.
"Wah, perempuan semua," ucap pria itu entah kenapa terdengar terlalu ceria. Matanya yang hampir mirip dengan Arsa menatap lekat empat gadis itu bergantian sebelum menatap kearah Arsa.
Melihat hal itu, Arsa langsung berdiri di hadapan empat temannya, "Temanku."
Pria itu mengangguk mengerti, "Saya Jero, saudara Arsa."
Empat gadis itu mengangguk serentak, entah mengapa merasa cukup tidak nyaman dengan pandangan Jero yang terlalu intens.
"Ar, mobilnya tinggal di sini?" tanya Pelita seraya menatap sekeliling mereka. Hutan, desa ini berada di tengah-tengah hutan. Tidak seperti yang orang-orang ceritakan, bukannya Desa Woso seharusnya tak jauh dari jalan raya di penghujung hutan lindung?
"Di bawa masuk saja, halamanmu cukup luas untuk menampung benda itu," ucap Jero kemudian mengambil sepeda tua yang bersandar di gapura desa, "mari, selamat datang."
Mereka kembali ke dalam mobil, hanya Ona yang sedikit lambat karena terus memperhatikan tulisan yang berada di atas gapura. Warna tulisannya sudah mulai pudar dan tidak lagi bisa terbaca.
"Apa, sih?"
"Ona, ayo! Jihoon lo udah nungguin tuh," seru Lavia yang langsung membuat Ona berlari menyusul.
"Jangan sentuh suami gue!"
Arsa langsung mengemudikan mobil dengan kecepatan cukup pelan sehingga mereka bisa memperhatikan sekeliling desa ini.
"Gue kira kita bakal di minta iris jari di depan gapura sebagai perjanjian darah supaya nggak macam-macam," ucap Fiela tenang seraya terus memperhatikan rumah-rumah yang mereka lewati.
"Hus! Jangan sembrono," ujar Pelita yang entah kenapa merasa sedikit menggigil. Gadis itu menggosok kedua tekapak tangann seraya di tiup beberapa kali, "kayanya mau hujan."
Nggak akan pernah turun hujan.
Dapat mereka lihat beberapa orang yang berpakaian khas para petani berseliweran di jalanan desa. Ada yang membawa cangkul, ada juga yang membawa hasil kebun seperti pisang dan sayur-sayuran.
Cukup aneh saat mereka terlihat cukup antusias saat melihat sebuah mobil melintasi mereka. Antusias yang sama seperti Jero tunjukkan tadi.
"Kenapa mereka keliatan bahagia banget?" tanya Lavia penasaran, gadis itu menggigit bibir bawahnya khawatir saat kepalanya memutar memori lama.
"Katanya orang Woso itu minum darah manusia."
Gadis yang tengah berguling nyaman itu menoleh, melirik sang Kakak yang usianya cukup jauh, "Ih, buat apa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/376940433-288-k912482.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...