Arsa memukul stir mobil dengan kencang, pemuda itu segera turun dari mobil kemudian kembali memasuki rumah. Arsa dengan cepat mengambil golok peninggalan sang ayah.
"Seharusnya gue nggak pernah percaya sama omongan Jero."
Pemuda itu berlari agak cepat untuk kembali menuju lumbung. Dirinya memilih melewati jalanan desa, tidak perduli jika nanti dia akan bertemu dengan salah satu iblis itu.
Arsa sedikit mengernyit heran tak kala tidak ada satu orangpun yang dia temui bahkan hingga dirinya tiba di aliran sungai. Tanpa pikir panjang Arsa bergerak menyeberangi sungai, berlari kencang menuju lumbung yang masih terbuka.
"Kosong?" gumam Arsa saat tidak melihat adanya siapapun di sini, bahkan Jero juga tidak terlihat.
Perasaan cemas memenuhi hatinya, apakah empat gadis itu sudah di bawah menuju tiang kembar?
"SIALAN!" Arsa menebas tiang lumbung dengan kencang.
Saat dirinya hendak berbalik keluar, mata Arsa menangkap sesosok pria yang tengah berdiri di tengah kegelapan. Tanpa pikir panjang Arsa mendekat.
"Aku mempercayakan mereka kepadamu."
"Aku sudah minta mereka berlari."
Arsa berdecih sinis, "LALU APA YANG KAU LAKUKAN SEJAK MATAHARI MASIH BERSINAR TADI?! KENAPA MEREKA TIDAK KEMBALI BAHKAN HINGGA MATAHARI SUDAH TENGGELAM?!"
Jero mundur selangkah, enggan menghadapi kemarahan sang adik. Pria itu menatap tajam sekelilingnya yang kembali senyap setelah sedikit keributan tadi.
"Mereka banyak bertanya tentang tanah ini, terutama peristiwa dua belas tahun yang lalu."
Pegangan Arsa pada gagang golok melemas, matanya menatap Jero bergetar penuh pertanyaan yang haus akan jawaban.
"Sa, mereka tau kau terlibat, dan mungkin mereka tidak lagi mempercayaimu," lanjut Jero sembari menatap kearah lumbung, "aku sudah meminta mereka untuk kembali padamu, tapi, kau bilang mereka tak pernah datang. Mungkin mereka sudah lari tanpa perlu membawamu juga."
Arsa kembali meremas gagang goloknya, enggan terlalu percaya dengan apapun yang Jero ucapkan.
"Kau mengkhianati ku, aku akan mencari teman-temanku sendirian." Arsa menatap tajam pria yang merupakan kakaknya ini, "akan ku habisi siapapun yang menghalangi jalanku."
"Terserah, satu hal lagi. Salah satu dari orang-orang itu dulu adalah saudara temanmu. Kau pikir, dia masih sudi bertemu pembunuh kakaknya sendiri?"
...
Lavia menyeret langkahnya yang terasa sangat berat. Air mata tak berhenti mengalir dari netra gadis itu. Hatinya sangat terluka saat mengingat semua fakta yang baru ia dengar.
Arsa, pemuda itu sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Lavia benar-benar tidak menyangka jika Arsa terlibat dengan peristiwa keji itu.
Saat tau jika Arsa berasal dari tanah ini, tak sekalipun dirinya pernah berpikiran buruk akan pemuda itu. Yang ada dalam pikirannya adalah, mungkin suatu saat nanti Arsa akan membantunya mencari tau kebenaran tentang peristiwa dua belas tahun lalu.
"Brengsek." Lavia mengambil sepotong kayu yang tergeletak di tanah, tanpa sadar dirinya telah jauh memasuki hutan.
Langkahnya terhenti tak kala matanya menangkap sinar samar yang berada tak jauh di depan sana. Tanpa pikir panjang, Lavia berlari mendekat.
Genggamannya pada potongan kayu kian mengerat ketika melihat sebuah tanah kosong yang di lengkapi beberapa tiang di setiap sudutnya.
Tangisnya kembali pecah, dengan emosi yang memuncak Lavia menebas tiang demi tiang dengan patahan kayu itu. Teriakannya seolah memecah malam yang sunyi.
Obor obor yang tertancap juga di hancurkan sehingga keadaan menjadi lebih gelap.
"Festival festival! Brengsek! Seharusnya kalian yang mati! Harusnya kalian yang di ikat di tiang sialan ini!" jerit Lavia sembari berlari mengelilingi tanah kosong demi menghancurkan seluruh tiang.
Tidak benar-benar hancur, namun, posisi setiap tiang menjadi goyah. Tidak berdiri tegak seperti sebelumnya. Tali-tali yang berada di tiang juga mulai terbakar oleh api.
Mata gadis itu bergetar saat baru menyadari jika ada seseorang yang terikat di tengah-tengah tiang tanpa mengenakan pakaian. Dalam kegelapan, pria itu terlihat samar, namun, cahaya dari api benar-benar tidak bisa menyembunyikan luka-luka yang berada di tubuh itu.
Lavia segera berlari menuju tengah tanah kosong. Gadis itu mendongak menatap pria yang sepertinya tak sadarkan diri. Dalam kemarahannya, Lavia mengangkat kayu yang sudah setengah hancur itu ke udara lalu tanpa aba aba mengacungkannya tepat mengenai dada pria di hadapannya.
"ARGHH!"
Gadis itu tidak perduli dengan teriakan tiba-tiba si pria. Tanpa belas kasih, Lavia terus memukulnya membabi buta hingga darah-darah kental bercampur daging berbau busuk terpercik ke wajahnya.
"MATI LO SIALAN!"
Lavia tidak tau siapa yang terikat di sana, namun, Lavia tidak rela jika hanya kakaknya yang tiada.
...
Tiga gadis yang masih berlari itu tiba-tiba terjerembab tak kala salah satu dari mereka terjatuh sambil menarik yang lain.
Pelita menangis kencang, lututnya terasa sakit karena terus berlari, sekarang pergelangan kakinya terasa seperti terkilir karena tersandung akar pohon.
"Aku capek! Kenapa kita harus ada di situasi ini! Kita salah apa?!" pekik Pelita sembari menutup wajahnya sendiri, "sekarang bahkan kita tinggal bertiga, kita harus lari ke mana lagi?!"
Ona segera memeluk gadis itu, mengesampingkan rasa sakit di kakinya sendiri. Ona juga merasa ketakutan, dirinya merasa tidak pantas mendapatkan semua ini. Kenapa harus mereka?!
Gadis itu lalu mengalihkan pandangan pada Fiela yang masih menunduk. Ona tau gadis ini menahan tangis karena bahunya bergetar, namun, ada yang aneh dari suara-suara yang tercipta dari Fiela.
"El? L-lo nggak papa?"
Fiela mengangkat kepalanya sambil menyeringai, "Hm?"
Mata merah menyala menghiasi wajah cantik gadis itu. Seringai lebar di bibirnya bahkan terlihat sangat mengerikan, terlebih perlahan darah mulai keluar dari mulut gadis itu.
"F-Fiela." Ona menarik Pelita untuk bergerak mundur ketika Fiela berdiri dengan cara yang sangat aneh.
"Aku sudah bilang akan mengejar bahkan sampai ke ujung dunia, kan? Lihat? Bagaimana jika kalian ku bawa dengan cara seperti ini?"
Suara melengking itu jelas bukan milik Fiela. Apalagi senyum penuh kebengisan yang tercipta. Dua gadis lainnya semakin bergerak mundur saat Fiela tiba-tiba menjatuhkan diri lalu bergerak mendekat dengan cara merangkak.
"Ayo, ikut aku! HAHAHA!"
"ARGHH!"
Teriakan itu muncul saat Fiela mencengkram pergelangan kaki Pelita dan Ona secara bersamaan kemudian menariknya dengan sangat kuat.
"Makanan ku ... Makanan ku. Kemarilah, darah perawan. Aku suka sekali."
Bugh!
Dalam sekali hentakan, Ona mampu mendaratkan telapak kakinya di wajah Fiela hingga gadis itu telentang dan tak sadarkan diri.
"EL?!"
Mereka yang baru saja hendak menghampiri Fiela lantas kembali mematung ketika sebuah suara muncul di belakang mereka.
"Akhirnya."
.
.
.
.
akhirnya ... tersayat juga? hehe
VOTE DAN KOMEN
to be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Woso Tanah Neraka [END]
HorrorKeputusan untuk berlibur setelah kelulusan sebelum berpisah menuju impian masing-masing menjadi sebuah malapetaka untuk lima remaja tersebut. Bukannya menghirup udara segar khas pedesaan yang masih asri, mereka malah menemukan fakta-fakta mengerika...