Pandanganku berkunang-kunang efek bergadang di depan laptop. Tiga hari berlalu dan usaha pencarianku akan keberadaan Aslan lewat internet belum membuahkan hasil. Malam hari adalah saat yang paling kubenci. Bekerja sebagai GRO artinya mengabdikan waktu berjam-jam untuk fokus pada tamu. Belum lagi di puncak rasa kantuk dan lelah, puncak pesta baru akan dimulai.
Orang-orang berdatangan dengan ramai. Semua kursi sudah diduduki atau sudah direservasi. Jam sepuluh malam, semua tamu reservasi sudah masuk. Aku berdiri di ujung meja bar tempat Javier sedang beraksi dengan botol dan gelas. Setelah selesai membuat tamu-tamu yang menyaksikannya menjadi heboh, dia menghampiriku dari seberang mejanya.
"Gue tahu. Lo pasti haus," kata Javier.
Aku mengangguk asal. Sebenarnya aku sedang tidak ingin meladeninya. Tapi hanya di sini Bu Gina tidak akan mengira kalau aku sedang malas meladeni tamu. Bukan berarti aku sedang bermalas-malasan. Aku hanya sedang tidak berenergi untuk saat ini. Pikiran tentang Aslan, tugas kampus, dan mama yang kembali menghadiri konsul terapis gara-gara videoku dengan pria hidung belang itu, semuanya terjadi bersamaan. Aku juga membatalkan keputusanku untuk keluar dari Paris Dice karena biaya konsul Mama pun semakin mahal.
Kemunculan gelas berisi minuman racikan Javier di meja depanku sontak membuatku terpaksa senyum palsu.
"Cobain dulu," kata Javier.
Aku menyesap minuman itu. Kesegaran mengalir di tenggorokanku. Alkohol rendah yang terkandung di dalamnya membuatku ingin minum lagi. Aku jadi merasa diriku ini munafik. Berkali-kali kukeluhkan ketidaksukaanku pada alkohol karena terpaksa harus minum demi pekerjaan, dan kini aku setuju pada orang-orang yang bilang kalau alkohol membantu rileks.
Javier tersenyum puas melihatku mengembalikan gelas dalam keadaan kosong.
"Mau lagi, gak? Gue bikinin yang lebih kuat," rayunya.
"Kena hukum gue kalau mabuk," dalihku.
"Dua tahun lo kerja di sini, gak pernah tuh lo mabuk." Dengan lihai tangan Javier membuat minuman baru. Segera setelah selesai, dia menyuguhkannya padaku.
Aku melirik sekitar. Lumayan kaget Javier punya keberanian menyuguhkan dua gelas minuman padaku yang sudah pasti tidak akan bayar. Kalau bos tahu, bisa gawat. Rasanya tidak benar. Seperti mencuri.
Javier mengetuk lenganku agar aku melihatnya. "Traktiran gue," katanya.
Aku mengangkat satu alis. Tidak mungkin dia mentraktirku tanpa sebab. Mau mendekatiku? Mustahil. Dia akan capek sendiri karena aku berhati batu.
"Udah. Gak papa. Santai aja. Gue tahu lo lagi capek. Kelihatan dari kerutan di muka lo," ujar Javier.
"Lo kata gue nenek-nenek?" sahutku.
"Serius," ujar Javier sambil terkekeh. "Gue baru dapet tip gede. Boleh dong gue traktir lo minuman mood booster ala gue pas lo lagi capek-capeknya gini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta's Hidden Melody
RomanceLea merasa ada yang aneh setelah Aslan kembali dari perpisahan mereka selama tujuh tahun. Setiap perubahan Aslan bagai misteri tak terpecahkan. Serangkaian misteri itu menimbulkan perasaan baru, yang Lea percayai tidak boleh ada di tengah persahabat...