Chapter 6

60 16 2
                                    

Saat aku keluar dari gedung kampusku, Aslan sudah di dekat portal yang memisahkan halaman gedung FISIP dengan jalan kecil yang menghubungkan setiap gedung lain Universitas Atlas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat aku keluar dari gedung kampusku, Aslan sudah di dekat portal yang memisahkan halaman gedung FISIP dengan jalan kecil yang menghubungkan setiap gedung lain Universitas Atlas. Dia sedang tidak memakai helm. Aku bisa melihat dengan jelas sudut bibirnya yang melengkung ke atas begitu menyadari kedatanganku.

Aslan mengulurkan tangannya yang memegang helm merah muda bergambar Kuromi. Helm itu masih mulus seperti baru. Aku menghisap pipi bagian dalamku. Kutebak kalau Aslan sengaja membeli helm baru untukku.

"Satu permintaan sebelum kamu naik," kata Aslan.

Kujawab sambil mengambil helm Kuromi itu, "Apa?"

"Senyum dikit. Biar aku tahu kalau kamu tuh senang bakalan ngelewatin satu jam berharga kamu bareng aku."

"Iya. Aku senang. Nih," ucapku. Aku menempelkan telapak tangan di pipi sambil tersenyum semanis mungkin, bahuku kuangkat untuk menambah kesan sok-imut.

Aslan mengulum senyum dan langsung berpaling wajah. "Dasar," gumamnya.

"Kenapa, sih?" celetukku sambil memakai helm.

"Kamu lucu," jawabnya.

"Lucu yang bikin pengin ketawa atau lucu yang bikin gemes gitu?" tanyaku.

Aslan melirikku dengan mata disipitkan sok sebal. "Lucu yg bikin pengin cubit."

Iseng, aku mengulang senyuman-sok-imut walau tanganku sedang sibuk mengancing kaitan helm. "Nih, cubit aja," gurauku.

"Udah lah. Gak jadi," ujar Aslan sambil memasang helmnya.

"Lah, kenapa?" Aku memegang bahu Aslan lalu naik di boncengannya.

"Ngeselin kamu," sahutnya.

Aku berdecak lidah. "Tadi katanya lucu."

Aslan berbalik punggung, satu tangannya mencubit pipiku dari sela helm.

"Lucu yang bikin kesel ternyata," sergahnya, dan aku meringis pura-pura kesakitan.

🍀

Tapi rupanya perjalanan kami tak jauh-jauh amat. Sudah biasa kulalui dengan berjalan kaki malah. Aku sendiri terperangah saat Aslan memarkirkan motor di parkiran perpustakaan umum universitas. Sementara kami berjalan di pedestrian, aku hanya bisa menahan tawaku.

"Jadi ini tempat yang gak akan bisa aku tebak itu?" cibirku.

Aslan cengengesan. "Iya. Gak bisa tebak kan kamu?"

"Iya, gak bisa," kataku.

"Dan waktu kita itu tuh singkat banget. Ketimbang habisin waktu dengan macet-macetan di jalan mendingan waktunya kita pake buat ngobrol banyak. Ya, gak?"

Jakarta's Hidden MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang