Chapter 17

38 13 3
                                    

Pagi harinya, aku langsung terbangun pada dering alarm pertama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi harinya, aku langsung terbangun pada dering alarm pertama. Padahal biasanya aku menunda deringannya berkali-kali sebelum memutuskan untuk bangkit.  Hal pertama yang kulakukan adalah memberitahu Zayyan kalau hari ini dia tidak perlu menjemputku. Aku berdalih kalau aku harus berangkat lebih pagi dan Zayyan tidak akan sempat menjemputku. Kurasa lebih baik begitu. Aku tidak ingin jadi pusat kehidupan siapa pun. Aku tidak punya waktu untuk mereka. Tidak punya waktu dan cinta sebanyak yang mampu orang lain berikan padaku. Waktu dan cintaku sepatutnya hanya untuk Mama yang jauh lebih membutuhkannya.

Aku sengaja berangkat satu jam lebih awal dari biasanya karena akan berangkat dengan ojek. Entah kenapa aku membayangkan Zayyan jadi detektif dadakan dan menyelidiki kejujuranku. Pagi ini ada seminar umum. Berangkat sejam lebih awal artinya juga sampai sejam lebih awal. Masih hanya ada aku di ruang seminar.

Aku mengecek ponsel, penasaran karena Zayyan belum membalas sama sekali. Tepat saat pikiranku kosong dengan ponsel di tangan, masuk lah telepon dari nomor yang tidak dikenal.

“Halo?” kataku saat mengangkat telepon.

“Hai. Lea, ya?” kata suara perempuan di ujung telepon.

“Iya. Ini siapa, ya?” tanyaku.

“Gue Rainy Felicia. Lo dimana? Gue mau ngomong sama lo.” 

🍀

Tak sampai lima belas menit setelah telepon itu, muncullah Rainy Felicia dari pintu masuk. Dia berjalan dengan langkah indah bak model catwalk. Auranya terpancar dengan sempurna. Kaki putih jenjangnya yang tersingkap di bawah rok selutut berwarna ungu membuatku terkagum sendiri. Tebakan kolot seperti ‘dia pasti tidak pernah digigit nyamuk’ muncul begitu saja. Rambutnya yang diikalkan menjuntai dengan sempurna di depan bahu. Tampang-tampang mahasiswa yang sedang menyusun skripsi tidak melekat di dirinya.

Aku berdiri untuk menyambut dia dan kakak senior lain yang bersamanya. Aku juga kenal senior yang satu itu. Dia sering mengunjungi Paris Dice dengan pacarnya yang seorang pengusaha kaya. Tubuhnya mungil dan berisi. Riasan wajahnya lebih tebal dari isi dompetku, tapi dia tetap terlihat menawan.

Rainy Felicia duduk di kursi sampingku tanpa aba-aba, disusul oleh temannya. Aku kembali duduk, tubuhku menyerong menghadap mereka tapi mataku tidak bisa lepas dari kaki mulus Rainy Felicia yang bersilang dengan cantik.

“Langsung ke intinya aja. Lo siapanya Aslan?” Pertanyaan Rainy Felicia membuatku kaget. Rupanya dia bukan datang untuk Zayyan.

“Saya temannya Aslan. Kakak-”

“Gue bukan kakak lo!” sergahnya dengan mata melotot. Temannya cekikikan melihat aku kaget kalau Rainy Felicia yang super manis di depan kamera itu bisa mengeluarkan suara selantang ini.

“Apa buktinya lo memang temannya Aslan, bukan cewek keganjenan yang pura-pura kenal supaya bisa dekat-dekat sama Cio?” Pertanyaan Rainy Felicia yang satu itu membuatku mengernyit. “Zayyan Rocio Lubis!” sergahnya menjelaskan, baru lah aku mengerti.

Tiba-tiba aku menyesal sudah mengangkat teleponnya pagi ini. Lantas penyesalanku kutebas dengan pertanyaan yang sejak tadi ingin kulemparkan padanya. “Lo sendiri siapanya Aslan ya?”

Rainy Felicia mengerjap “Eh? Berani banget lo ya ngomong  gak ada sopan-sopannya sama senior?”

“Trus mau gimana gue cara ngomongnya? Gak boleh pakai Kakak, kan? Ya apalagi Mbak? Apa mau pakai Bang aja?” Ah, sial. Padahal aku sangat mengagumi kaki indahnya itu. Aku tidak mungkin punya kaki semulus itu. Di kamarku banyak nyamuk, membuat kulit kakiku berbekas merah di beberapa bagian.

“Pecun! Lo pakai topeng apa sih di depan Cio? Bisa ya dia dekat-dekat sama cewek kayak lo!”

“Saya juga bingung kenapa Aslan kenal dengan orang seperti Anda. Anda ini siapanya Aslan?”

“Gue siapanya bukan urusan lo. Lo sendiri ada hubungan apa sama Cio?”

“Bukan urusan anda juga kecuali anda ini saudaranya.” Pernyataan menjebak. Aku hanya ingin tahu ada apa antara mereka bertiga.

Suara langkah dan senda gurau beberapa orang terdengar memasuki ruang seminar. Mereka adalah teman-teman satu angkatanku. Rainy Felicia berdecak lidah menyadari bahwa kami tak lagi sendirian. Orang-orang yang masuk itu memandangi ke arah kami. Dari ekspresi mereka, sepertinya memuji kecantikan Rainy Felicia yang tiada tandingan ini.

Rainy Felicia menyunggingkan senyuman sempurna di wajahnya. Sebuah senyuman yang akan membuatmu tidak percaya kalau barusan dia memakiku dengan kata kotor. Padahal dia tiga tahun lebih tua dariku. Harusnya dia lebih tahu cara bersikap. Bukannya asal main labrak seperti bocah SMA baru pertama kali berpacaran.

Rainy Felicia meraih tanganku tapi aku langsung menghempaskannya kasar. Dia hampir gagal mempertahankan senyumannya. Hebatnya, kedatangan beberapa orang baru mengingatkannya kalau dia punya image yang harus dijaga sehingga topeng bidadarinya kembali menempel di wajahnya.

Rainy Felicia menyondongkan tubuh mendekatiku lalu berbicara dengan suara pelan yang hanya kami dua bisa mendengarnya. “Intinya, lo jangan harap banyak ke Cio. Ikatan gue sama dia itu gak terputuskan. Apalagi sama cewek murah kayak lo. Gue tahu ya lo tuh apa.”

Kalimat itu lantas membuatku naik darah. Tak perlu cermin untuk sadar kalau wajahku pasti memerah. Rainy Felicia bangkit untuk meninggalkanku. Aku tidak ingin dia pergi seenaknya dengan penghinaan di wajahku. Apa daya aku tidak pandai berdebat? Hanya satu yang terlintas di pikiranku.

Kuhubungi nomor Zayyan yang didambakannya itu. Aku belum mengecek pesan terakhir dari Zayyan yang masuk beberapa menit lalu, tapi kuharap dia mengangkat teleponku secepatnya. Dan, ya. Taruhanku mendapatkan hasil bagus. Kuaktifkan pengeras suara ponselku lalu berbicara dengan lantang lewat telepon.

“Halo. Apa benar ini dengan Zayyan Rocio Lubis?” perkataanku membuat Rainy Felicia berbalik dan menatapku dengan mata membelalak.

“Iya. Kamu Lea Crenata yang udah tega banget ninggalin aku, ya? Padahal aku udah di depan rumah kamu lho ini.” Jawaban Zayyan lantas membuat dada Rainy Felicia naik turun seperti orang sesak napas.

“To the point aja, ya. Ada artis secantik bidadari yang tiba-tiba datang ke gue trus nyebut-nyebut nama lo. Bikin gue sakit telinga, tahu, gak! Tolong diurus secepatnya!” Kumatikan telepon segera setelah kalimat itu kuselesaikan. 

Aku tersenyum puas memandangi wajah memerah Rainy Felicia. Dia menggeram, tangannya terangkat hendak menamparku tapi dengan cekatan aku menghempaskan tangannya dan dia menggerutu kesakitan.

Teman Rainy Felicia yang hampir kulupakan itu menarik tubuh Rainy Felicia sambil coba menenangkannya. Orang-orang di sekitar kami mengamati dengan pandangan bertanya-tanya. Beberapa orang lain berdatangan lagi, kali ini jumlahnya hampir mencapai sepuluh. Rainy Felicia menatapku sekali lagi. Kali ini dia sudah berhenti bercosplay domba. Tatapannya padaku setajam belati sampai-sampai aku bergidik. Bertengkar dengan senior berpengaruh itu bagai mimpi buruk, tapi aku tidak sudi dia menindasku. Dengan kesal pun akhirnya Rainy Felicia dan temannya pergi juga.

Jakarta's Hidden MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang