*kupublish hari ini soalnya besok ga sempat. semangat membacaaaa*________
"Aduh!" Zayyan meringis menerima tamparanku di lengannya. Padahal aku yakin sekali lengan keras itu tidak akan kesakitan bahkan jika kutinju sekali pun.
Tuh, kan? Dia masih bisa tersenyum jahil di atas motornya yang terparkir tepat di depan pintu masuk Juri Cafe.
Aku mengambil helm Kuromi dari tangannya dengan wajah memberengut. "Gila kamu, Zay! Satu kafe mikir kita tuh beneran pacaran tau, gak?"
"Salahku dimana? Memangnya aku ada ngaku-ngaku jadi pacar kamu?" dia bahkan memasang tampang polos yang sialnya harus kuakui cukup menggemaskan.
"Kamu manggil aku sayang di depan mereka!" kataku geram.
"Kalau gak di depan mereka boleh, dong?" sahutnya, aku memutar bola mata dengan malas. "Trus kalau di samping atau di belakang, atau di atas mereka boleh panggil sayang juga? Kebetulan banget nih, sekarang kita lagi jauh dari mereka," lanjutnya sementara aku naik di boncengannya.
"Enggak!"
"Kalau panggil baby?" tawarnya
"Aku bukan bayi."
"Sweetheart?"
"Please ya, Zay, balik waras," tegasku. Tepat pada saat itu, Clara si biang gosip, keluar dari pintu bersama dua orang karyawan lain.
"Kalau manggil pumpkin, boleh?" ujar Zayyan.
"Cieeeee" Clara dan kedua teman kami jadi heboh. Mereka bercuri pandang padaku dan Zayyan sambil berjalan ke area parkiran.
"Jalanin gak, motornya?" ancamku.
Terdengar kekehan Zayyan. "Iya, sayang, sabar..." ucapnya sambil menyalakan mesin motor.
Aku menurunkan kaki kiriku ke tanah, berniat turun karena dia belum tobat juga rupanya. Namun, dengan cepat tangan kiri Zayyan menahan pahaku. "Iya, iya, sorry..." masih saja terdengar senyuman dari suaranya.
"Iya apa?" hardikku.
"Iya sa-"
Kaki kiriku turun lagi, dan Zayyan menahannya lagi dengan tangannya sambil tertawa puas.
"Iya, Lea Crenata... Ini kita jalan. Jangan ngambek," kata Zayyan kemudian.
Aku mendengus di belakang Zayyan. Sejujurnya aku tidak benar-benar kesal. Mana mungkin aku kesal saat kata panggilan sederhana seperti itu, jika keluar dari mulutnya, malah terdengar bagai lantunan musik yang bikin candu.
🍀
Tubuh Zayyan yang hanya berbalut kaos putih berlengan pendek membuatku bisa mengamati tato di lengan bawahnya. Aku tidak pernah mempunyai ketertarikan pada tato. Bisa dibilang jiwa seni dalam diriku hanya sebatas menyukai beberapa jenis lagu tanpa benar-benar paham maknanya. Namun untuk pertama kalinya aku merasa tinta yang melekat di kulit seseorang bisa tampak sangat indah.
“Tato kamu artinya apa?” tanyaku di tengah perjalanan kami.
“Apa yang kamu lihat?” Zayyan bertanya balik.
Aku meloloskan leherku ke atas bahu kanannya dan mengamati ulang tato itu. “Itu elang bukan, sih? Lagi terbang di atas jam. Jam 12.11,” jawabku.
“Pinter.”
“Ya. Trus apa artinya?” tanyaku sebal.
Kami tiba di persimpangan lampu merah. Motor Zayyan berhenti di barisan paling depan. Zayyan mengarahkan tangan kanannya ke samping agar aku melihat dengan lebih jelas. “Tanggal 12 November itu hari kematianku. Bukan kematian secara harfiah, pastinya. Sesuatu membuat waktu yang kumiliki terasa meluruh saat itu,” jelas Zayyan kemudian.
“Elang itu siapa?” tanyaku.
“Elang itu apa,” ralatnya. Zayyan menoleh ke arahku. “Menurut kamu elangnya apa?” tanyanya.
“Mmm...” aku bergumam panjang sementara Zayyan mengamati wajahku. Tadinya kukira elang itu melambangkan dirinya. Tapi sepertinya Zayyan lebih suka memberi makna pada hal-hal yang lebih dalam ketimbang dirinya sendiri sebagai subjek.
“Harapan,” tebakku akhirnya.
“Harapan?” ulang Zayyan.
Aku mengangguk sekali. “Di sisa waktu kamu yang meluruh itu masih ada harapan yang bisa terbang tinggi. Harapan yang satu ini adalah karnivora yang ditakuti oleh mangsa-mangsanya,” jawabku.
Mata Zayyan tersenyum.
“Tapi elang bisa jadi apa aja, sih,” sambungku lagi. “Bisa jadi dia adalah sebuah nilai dalam diri kamu. Masing-masing orang pasti punya nilai yang mereka peluk, kan? Jadi menurutku hanya kamu yang tahu pasti elang itu apa.”
Lampu lalu lintas kembali hijau. Zayyan memutar gas dan kami melaju dengan pelan setelah melewati persimpangan.
“Lea,” panggilnya dengan lembut suatu kali dalam perjalanan itu.
Aku menyelipkan wajahku di atas bahu kirinya. “Hm?” gumamku. Bukannya menjawab, Zayyan malah melaga helm kami.“Aku udah pernah bilang belum, kalau kamu cewek paling keren yang pernah kukenal?” katanya.
“Apa sih lo? Gak jelas terus hidupnya.” Aku kerepotan menahan senyum kegeeran walau dia tidak lihat.
"Kamu, pumpkin..."
Kuturunkan kaki kiriku, dengan cepat Zayyan langsung menahannya. "Keren gak harus nekat ya, Lea Crenata!" sergahnya. Tangan kiri yang tadi menahan kakiku berpindah menyentuh tanganku. Lalu Zayyan meletakkan tanganku di pinggangnya. "Aku mau ngebut, nih! Kamu pasang sabuk pengaman sekenceng-kencengnya, ya!"
"Hah? Sabuk pengaman apaan?"
"Satu..."
"Zay! Kamu ngebut, aku lompat!"
Zayyan menarik tangan kiriku hingga ke perutnya, dan benang di otakku mulai memahami maksudnya.
"Dua...."
Ragu, aku meraih pinggang kanannya dengan tanganku yang satu lagi.
"Dua koma sembilan...."
Kupeluk erat tubuh Zayyan.
"Tiga! Peluk yang kenceng, Lea Crenata!" seru Zayyan dengan suara lantang.
Kuharap, dari punggungnya, Zayyan tidak merasakan dentuman jantungku yang berpacu kencang mengalahkan laju motornya.
🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta's Hidden Melody
عاطفيةLea merasa ada yang aneh setelah Aslan kembali dari perpisahan mereka selama tujuh tahun. Setiap perubahan Aslan bagai misteri tak terpecahkan. Serangkaian misteri itu menimbulkan perasaan baru, yang Lea percayai tidak boleh ada di tengah persahabat...