Chapter 12

30 15 0
                                    

“Gak bisa kayak gini, dong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Gak bisa kayak gini, dong. Lo kan tahu, peraturan di sini one month notice. Lo gak bisa keluar tiba-tiba pas kita lagi kekurangan orang kayak gini, Renata…” Suara ceking Bu Gina—Supervisor Paris Dice—yang membujukku untuk tetap tinggal tidak akan mempan. Lowongan kerja dari Zayyan sebenarnya tidak kuyakini seratus persen tapi perbuatan Javier tempo lalu kurasa sudah menjadi alasan yang cukup untuk pergi.

Lagipula Bu Gina hanya berkata seperti itu karena takut aku menuntut gaji menggangtungku yang sudah kuikhlaskan walau terpaksa. Soal kelakuan Javier pun juga sudah kulaporkan pada Bu Gina. Bu Gina berdalih tidak percaya karena aku tidak punya bukti. Tidak ada CCTV di ruang locker. Padahal jika aku jadi Bu Gina, akan kupanggil Javier dan kuinterogasi di depan orang yang mengaku menjadi korbannya.

Setelah berurusan dengan Bu Gina dan HRD, aku memberi salam dan pelukan perpisahan pada Sisca. Kedatangan Javier melalui lift lah yang membuatku tiba-tiba jadi sibuk mengecek waktu dan tersadar kalau Zayyan sudah menungguku hampir tiga puluh menit di luar gedung apartemen. Secepat mungkin aku berpamitan pada Sisca dan beberapa teman lain lalu bergegas untuk pergi.

Sialnya, Javier menghampiri di tengah pelarianku. Dia memasang senyum tak berdosa. Kupasang wajah datar dan pura-pura tuli atas apa pun sampah yang akan keluar dari mulut menjijikkannya.

“Renata? Lo mau kemana? Pulang? Sakit? Mau gue anterin, gak?” kata Javier.

Aku memasuki lift dengan langkah buru-buru. Tanganku menekan tombol lift secepat yang kumampu tapi Javier berhasil masuk sebelum pintunya tertutup rapat.

Aku berdiri dengan gelisah di dekat tombol sementara lift itu berjalan turun. Kalau dia sampai macam-macam lagi, silakan saja. Akan kutekan tombol darurat dan kali ini kupastikan bukti rekaman CCTV membawa cowok berengsek ini ke kantor polisi.

“Lo kenapa, sih? Tiba-tiba jutekin gue. Beneran sakit lagi sakit? Parah?” Tangan Javier terangkat mendekati wajahku, dengan cepat kutepis dan kuberi dia tatapan maut.

“Jangan—sentuh—gue!” hardikku.

Javier mengernyit kebingungan. Aku membuka ponsel dan semakin kacau lah aku melihat batang sinyalku kosong. 

“Pasti Dara, ya?” tuduh Javier, aku jadi melongo. “Dia tuh memang suka ngaku-ngaku jadi pacar gue di depan cewek yang lagi dekat sama gue. Gue sama Dara gak ada apa-apa kok, Ren.”

“Gue gak ngerti. ya, lo ngomongin apa.” 

Bel lift berbunyi. Kuhirup napas lega melihat tiga orang masuk ke dalam lift. Tapi si Javier sepertinya tak punya urat malu. Dia berdiri menempel di sampingku lalu berucap pelan, “Gue anterin lo, ya. Sebagai permintaan maaf gue udah bikin lo salah paham. Ikhlas gue bolos kerja demi lo.”

Sepertinya yang perlu menangani Javier ini bukan polisi melainkan psikiater. Gangguan mental Mama membuatku banyak membaca buku dan artikel tentang kesehatan jiwa. Tidak perlu memberi tes pun, bisa kutebak kalau Javier pasti gangguan jiwa.

Kuabaikan Javier yang terus menerus membujuk rayu di sampingku. Setiap aku menjauh beberapa senti, dia selalu mendekat lagi. Untungnya lift itu tiba di lobby lebih cepat dari dugaanku. Aku bergegas keluar dengan langkah terburu sementara Javier terus mengikutiku.

“Renata! Please kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya!”
Dari balik pintu kaca putar lobby, aku melihat Zayyan tengah berdiri di samping motornya sambil berteleponan dengan seseorang. Aku berlari keluar dari pintu putar. Zayyan tersenyum saat melihatku tapi air mukanya langsung berubah begitu mengamati ekspresi kalut di wajahku. 

Cekatan, aku memeluk tubuh Zayyan yang langsung membalas pelukanku. Kubiarkan tubuhku terdekap dalam lengan Zayyan untuk beberapa saat. Sengaja. Aku ingin Javier melihatnya. 
“Cowok yang lagi ngelihatin kita siapa?” tanya Zayyan dalam bisikan yang dingin.

“Cowok narsis. Dia pikir gue suka sama dia. Sorry, ya. Gue jadiin lo tameng. Gue udah gak tahan sama dia,” jawabku dengan suara yang bergetar.

“Kamu diapain sama dia?"

“Gak ada. Gue cuma gak suka aja dia ngikutin gue,” jawabku.

“Yakin? Mumpung orangnya lagi di depan mata.” Ucapan Zayyan membuat bulu kudukku naik. Aku tidak tahu kalau dilindungi oleh seseorang juga bisa terasa menakutkan. Kuhela napas pelan lalu menengadah melirik wajah Zayyan. Sorot matanya tajam dan rahangnya mengeras.

“Si cowok narsis masih di situ, gak?” kucoba bertanya setenang mungkin.

“Baru masuk lagi ke lobby,” jawab Zayyan.

Aku melepas pelukan kami dengan tarikan napas lega. “Ya udah kalau gitu. Ayo pergi,” ajakku.

Aku menghampiri motor Zayyan tapi dia tidak terlihat berniat naik ke motor itu. Kembali Zayyan berdiri berhadapan denganku, matanya memberiku tatapan menginterogasi. “Kamu yakin dia gak pernah jahatin kamu?” katanya.

“Iya, yakin,” kujawab.

“Trus kenapa kamu takut banget sama dia?”

“Kebanyakan nonton film thriller gue.”

“Yakin?” tanya Zayyan untuk kesekian kalinya. Kali ini semua perasaan negatif dalam diriku jadi musnah sendiri melihat dia sangat ingin memastikan keamananku. Aku mengangguk sambil senyum.

Zayyan memijat hidungnya lalu kembali melirikku, “Ada lagi orang aneh kayak dia di sekitaran kamu?” tanyanya, aku menggelengkan kepala dengan cepat.

Zayyan memberiku tatapan menilai. Kubalas tatapannya itu dengan gelengan yakin agar dia percaya.

“Urusan resign udah aman semua?” tanya Zayyan kemudian.

“Udah. Yuk, gerak. Panas,” kataku. Sejujurnya aku takut kalau Javier nekat menghampiri kami.

Zayyan menghela napas pendek. Lalu dia melirik ponselnya dan aku teringat kalau tadi dia sedang bicara pada seseorang. Dari layar ponsel Zayyan kelihatan kalau telepon itu masih berlangsung.

“Udah dulu, ya. Ntar malam aku singgah ke rumah kamu. Jangan kecapean,” katanya pada orang di balik telepon. Saat dia menghentikan panggilan itu, untuk sekilas aku bisa membaca nama kontak yang tadi berkomunikasi dengan Zayyan. Rain, dengan foto profil Rainy Felicia dan Zayyan yang tersenyum pada kamera.

Zayyan memberi helm Kuromi padaku yang jadi linglung karena nama di layar ponselnya itu. Tiba-tiba aku teringat pertemuan pertamaku dengan Zayyan di kampus adalah saat dia bertengkar karena Rainy Felicia.

Zayyan lebih dulu naik dan menyalakan motor. Saat naik di boncengannya, aku sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk bertanya. “Lo tadi nelpon siapa?”

Zayyan tidak menjawab. Entah dia memang tidak dengar atau hanya pura-pura, aku tidak tahu. Dia menyalakan motor dan pertanyaanku terabaikan bersama angin yang menghembus.

🍀

Jakarta's Hidden MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang