Chapter 19

35 9 1
                                    

Saat Juri Cafe sudah tutup dan semua karyawan boleh pulang, Zayyan menjemputku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat Juri Cafe sudah tutup dan semua karyawan boleh pulang, Zayyan menjemputku. Kami berkendara selama satu jam, lalu tiba jam sepuluh di kafe berkonsep taman di Hambalang. Mungkin karena ini masih hari Jumat, tempat ini tidak seramai dugaanku. Aku jadi lega karena sebenarnya aku tidak begitu menyukai keramaian.

Kafe ini punya area outdoor yang luas. Lantainya dari kayu bercat coklat muda, kursi-kursinya tidak terlalu nyaman karena tidak berbantal-mungkin supaya tidak lembab karena cuaca, tapi keletihan duduk di atas motor terbayarkan dengan langit penuh bintang. Lampu jalan dan bangunan di bawah sana juga terlihat indah dari kejauhan sini.

Band pengisi live music menyanyikan lagu Apakah Harus Seperti Ini milik Musikimia. Musikimia dan Padi adalah band kesukaan mama. Tentu saja saat mama masih sehat. Sekarang mama sudah jarang mendengar musik, gantian aku yang suka. Mendengar lagu mereka dilantunkan membuatku ingin sekali membawa mama ke sini. Mama pasti senang dengan pemandangan dan suasana tempat ini. Sesekali melarikan diri dari Jakarta yang macat dan panas sepertinya memang diperlukan.

Saat band berganti lagu, aku melirik Zayyan. Rupanya dia tengah memandangiku.

Aku tersenyum lebar. "Aku suka Musikimia," kataku, lalu menyesap teh panas yang beberapa waktu lalu waitress sajikan di atas meja.

Zayyan mengangkat alis seolah tidak percaya. "Trus paling suka lagu yang mana?" tanyanya.

"Yang mana aja yang dinyanyiin sama suami aku di hari pernikahan nanti," gurauku, membuat Zayyan cengir.

"Trus kalau suami kamu ternyata suaranya sumbang gimana? Tetap suka?" sahut Zayyan dari seberang meja.

Aku mengerucutkan bibir pura-pura berpikir. "Tetap, deh. Namanya juga cinta. Bukan cuma buta, tapi tuli juga."
Zayyan tertawa lagi.

"Canda anyway," kataku. "Gue gak ada niat nikah seumur hidup,"
Untuk sesaat aku bisa melihat alis Zayyan terangkat tapi segera dia mengatur wajahnya sedatar mungkin.

"Aku pikir kamu tuh gak suka musik," dia mengalihkan.

"Kenapa mikir gitu?" tanyaku.

"Soalnya kamu gak pernah kelihatan senang dengan musik-musik di Paris Dice," jawabnya sambil melipat tangan di atas meja.

"Aku suka musik, tapi suaranya jangan kekencengan. Soalnya pendengaranku tuh tajam."

Angin menghembus rambutku. Zayyan menyelipkan untaian rambutku yang terbawa angin itu ke belakang telinga sambil bergurau, "Setajam silet?"

Kami menikmati beberapa menit mendengarkan lagu dalam diam. Sepertinya kami sama-sama suka lagu yang sedang dilantunkan oleh band itu. Lagunya Bruno Mars dan Lady Gaga yang berjudul Die With A Smile. Zayyan ikut bergumam menyanyikan lagu itu.

Setelah lagu selesai, kami kembali bertatapan. Biarpun tidak saling bicara tapi aku tidak merasa aneh. Seolah kami saling berkomunikasi dengan hanya melihat wajah satu sama lain. Tapi aku teringat malam akan semakin larut dan aku tidak punya banyak waktu untuk menanyakan hal yang sangat menggangguku hingga kini.

Jakarta's Hidden MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang