Chapter 11

62 17 0
                                    

Untuk pertama kalinya aku menyambut pagi dengan senyum semangat yang datang entah dari mana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk pertama kalinya aku menyambut pagi dengan senyum semangat yang datang entah dari mana. Tidak mungkin hanya karena aku bermimpi motor-motoran dengan Zayyan. Tidak ada percakapan, tidak ada kegiatan lain dan bahkan aku tidak ingat kemana tujuan kami. Hanya pemandangan punggung bidang Zayyan yang menunduk mengendarai motor.

Aku menutup mata karena ingin tidur lagi. Mungkin karena bisa saja mimpi anehku berlanjut dan mengungkapkan tujuan kami. Atau mungkin karena aku terlalu lelah untuk bangkit. Biarpun tidak memabukkan, minuman racikan Javier membuat kepalaku sakit.

Tampaknya ponselku tidak setuju dengan rencanaku mengulur waktu hingga mepet untuk berangkat ke kampus. Getarannya membuat wajahku geli dan aku terpaksa mengintip layarnya untuk memastikan orang kurang kerjaan mana yang meneleponku jam segini.

"Lo punya waktu sepuluh detik buat jelasin ke gue, kenapa lo nelpon gue sepagi ini," ucapku dengan suara serak.

"Pagi-pagi udah jutek aja sih, neng," ujaran Zayyan membuatku senyum sendiri. "Niatku, mau bantu ngebangunin kamu karena ini udah jam delapan. Trus sekalian mau ngasih penawaran bagus juga."

Aku meregangkan tubuh sambil berguling ke samping. "Penawaran apa?"

"Ojek kilat. Kamu ada kuliah jam berapa?"

"Jam sepuluh," jawabku.

"Oke. Sejam lagi aku udah di depan pintu rumah kamu."

Aku diam menimbang. Aku tidak pernah percaya tawaran sukarela pria untuk memberiku tumpangan-aku tidak percaya dengan kata sukarela. Selalu ada maksud tersembunyi. Seperti Javier contohnya. Tapi kurasa kalau cowok satu ini punya maksud tersembunyi, aku ingin menguliknya.

"Ya udah. Ntar imbalannya gue traktir lo makan siang," kataku.

Terdengar tawa lembut Zayyan dari ujung sana. "Baiklah, nona. Tapi ojekku bukan sembarang ojek. Kamu harus traktir pakai masakan sendiri."

Jawaban Zayyan sontak membuat mataku membelalak. Aku tidak pandai masak. Begitu pula Mama. Makanya sejak tidak sanggup membayar asisten rumah tangga, kami selalu memesan rantangan. Satu-satunya makanan yang bisa kumasak hanya nasi goreng dengan bumbu jadi.

"Nasi goreng mau, gak?" tanyaku.

"Asal kamu yang bikin, nasi pakai telur juga udah mantap banget. Asal jangan nasi basi aja, ntar sakit perut."

Kuberitahu Zayyan kalau aku harus bersiap-siap lalu berakhirlah telepon kami. Sesaat setelahnya, kurenungkan ulang tawaran nasi gorengku pada Zayyan. Sedikit penyesalan pun timbul terlambat. Aku bisa masak nasi goring tapi aku kan tidak tahu cara agar nasi gorengku terasa lezat.

Terlambat untuk membatalkannya, bukan? Aku melompat dari kasurku dengan tergesa-gesa untuk memeriksa isi kulkas. Ada telur, ada nugget, ada sosis, hanya itu saja. Tidak ada rempah dalam rumah ini. Ada garam, tentu saja, tapi aku cukup pintar untuk tahu kalau bahan nasi goreng bukan hanya nasi tambah garam. Oh, nasi! Kubuka penanak nasi, betapa legalah hati ini mengetahui nasi yang Mama masak sudah matang.

Jakarta's Hidden MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang