Kuabaikan pesan beruntun Dara itu. Bodo amat. Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan dia atau Javier. Ditambah saat ini aku sedang sibuk. Bukan hanya sibuk bekerja, tapi juga sibuk menjawab rasa penasaran rekan-rekan kerja baruku.
"Untuk kedelapan puluh sembilan kalinya, Clara, gue sama Zayyan cume temen," kataku pada Clara, kasir yang sudah selama tiga hari aku bekerja di sini selalu menanyakan hal yang sama.
"Tapi Kak Zayyan naksir lo gak, sih? Kelihatan banget dari effortnya." Clara menunjuk ke arah Zayyan dengan gerakan dagu. Cowok itu tengah duduk mengobrol di salah satu meja berkursi sofa, mereka berdelapan. Beberapa dari mereka masih memakai jas laboratorium bersablon Fakultas Kedokteran kampus kami.
"Effort dari mana? Dia cuma ngobrol sama temen-temennya doang, yang mana gak ada hubungannya sama gue."
"Jadi lo beneran masih single?" tanya Clara.
"Untuk ke delapan puluh sembilan kalinya juga, Clara, iya gue jomblo. Lo gak takut apa, gue ngira lo demen sama gue?" sahutku sebal.
"Yeee... Bukan gue. Itu, anak dapur. Naksir sama lo kayaknya."
"Table dua, Caramel Macchiato satu, jangan terlalu manis," ucap Ainun, salah satu waitress, seraya berdiri di seberang meja kasir.
"Emang bisa ya, Caramel Macchiato gak manis?" tanya Clara bingung.
Yogi, barista senior kami, garuk kepala sendiri. "Bikin Le," ucap Kak Yogi padaku dengan nada pasrah.
Aku mulai membuka buku catatanku, mencari resep Caramel Macchiato di sana.
"Lo tahu gak, tadi tamunya tanya gue kopi apa yang aman buat orang asam lambung. Ya gue jawab aja Americano. Eh dianya mikir gue ngisengin dia. Sekarang dia mau minum kopi yang pakai susu plus manis-manisannya..."
Ainun masih terus bercerita ketika fokusku pecah pada Zayyan yang melirikku dari tempatnya. Dia memberi senyuman padaku seraya temannya membicarakan sesuatu yang tampaknya serius. Senyuman itu terlalu manis untuk diabaikan, terlalu genit untuk ukuran seorang teman.
Cukup berbahaya untuk dadaku yang berdesir hanya dengan memandangnya.
🍀
Jam sembilan malam saat aku dan Kak Yogi mulai membersihkan area bar, teman-teman Zayyan meninggalkan kafe. Ainun mengantarkan mereka melewati pintu dan akhirnya kafe ini bebas dari tamu seutuhnya.
Kak Yogi menukar playlist Spotify yang tadinya bertema French Lounge menjadi lagu-lagu DJ angkot. Suara tawa dan canda karyawan dapur terdengar hingga ke area bar. Ainun dan para waitress lain membersihkan area tamu sambil berjoget dan bergosip. Dalam sekejap, tempat yang tadinya begitu tenang dan nyaman jadi serusuh sekolah TK. Clara sampai gagal fokus saat menghitung uang penjualan yang jadi tugasnya. Ia menghitung ulang lembaran uang dari kotak Cash Bank hitam yang tadinya sudah dia hitung setengah.
"Neng... Neng Lea..." suara yang memanggilku itu asalnya dari dapur.
Aku menghampiri jendela kaca yang terbuka di balik area kasir. Salah seorang karyawan dapur yang namanya belum kuingat tengah menunduk di balik sana, mensejajarkan wajahnya pada jendela panjang yang hanya setinggi leherku.
"Iya, kak?" kujawab.
"Kamu udah ada yang nganterin pulang, belum?" tanya cowok dapur itu.
Tiba-tiba musik berhenti. Kak Yogi yang mematikannya. Aku masih belum tahu alasan Kak Yogi, hingga Clara tersenyum pada Zayyan yang tengah berjalan masuk kembali, mendekati area kasir.
"Berapa total billnya, Clar?" tanya Zayyan. Aku bahkan tidak ingat kalau dia belum sempat bayar pesanan teman-temannya.
"Lima ratus enam puluh tujuh ribu kak," jawaban Clara berbarengan dengan suara karyawan dapur yang masih menunduk di balik jendela...
"...Mau mas anterin, gak?" tanya cowok itu. Disusul pula dengan siulan dan sorakan teman-temannya dari dalam dapur.
"Gak usah mas, makasih," kujawab sambil menutup jendela itu, tapi tangan cowok itu menahannya.
"Kalau boleh tahu, kamu beneran ya masih single?" tanyanya.
Aku mendengar suara Cash Bank dan printer bill, pertanda proses transaksi Zayyan sudah selesai.
Pertanyaan yang dilontarkan barusan membuatku merasa terjebak. Jawaban yang biasa kuberikan pada Javier dan karyawan Paris Dice yang dulu--sepertinya--punya maksud mendekatiku, selalu saja gue udah punya cowok, tapi keberadaan Zayyan yang sepertinya masih belum meninggalkan kasir membuatku menahan jawaban itu. Entah sejak kapan aku ingin Zayyan tahu kalau aku ini single seutuhnya.
"Kalau diem, artinya single. Boleh dong kalau aku naksir?" perkataannya kembali disusul dengan siulan dan sorakan dari dalam dapur.
Aroma parfum Zayyan yang tercium begitu dekat membuatku menoleh ke samping. Dengan bibir tersenyum kecut Zayyan berdiri tepat di sampingku, dengan jarak yang begitu dekat hingga lengan kami bersentuhan.
Zayyan mengacungkan dompetnya padaku. "Simpen dompetku ya, sayang. Aku tunggu kamu di luar," katanya.
Terbodoh, aku mengambil dompet kulit itu. Lalu Zayyan menunduk, berhadapan langsung dengan cowok yang tadinya menggodaku dengan percaya diri--namun kini cowok itu memasang wajah yang sama terbodohnya denganku.
Zayyan tersenyum dengan mata membentuk bulan sabit walau aku tidak tahu senyuman itu tulus atau tidak. "Boleh kok mas, kalau naksir. Namanya juga cewek cantik. Tapi jangan lebih dari itu ya," kata Zayyan.
Zayyan menghusap pucuk kepalaku sejenak sambil mengucapkan terimakasih pada Clara, sebelum akhirnya pergi keluar, meninggalkanku yang kini harus siap diterpa serangan pertanyaan dari Clara dan semua karyawan Juri Cafe.
🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Jakarta's Hidden Melody
RomanceLea merasa ada yang aneh setelah Aslan kembali dari perpisahan mereka selama tujuh tahun. Setiap perubahan Aslan bagai misteri tak terpecahkan. Serangkaian misteri itu menimbulkan perasaan baru, yang Lea percayai tidak boleh ada di tengah persahabat...