Chapter 10

55 16 2
                                    

Setelah pertengkaran itu, aku sudah tidak melihat Zayyan lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah pertengkaran itu, aku sudah tidak melihat Zayyan lagi. Malah aku melihat Javier yang dibopong keluar oleh petugas keamanan. Sekilas aku melihat Dara berbisik-bisik pada waitress lain sambil melirikku. Sudah lama aku membuang jauh-jauh sifat overthinking dalam diriku. Tidak sepenuhnya berhasil, tapi setidaknya aku sudah kebal dengan kemungkinan digosipi oleh orang lain. Toh sudah pernah kulalui yang paling parah.

Pada jam pulang, aku langsung mengucapkan selamat tinggal pada rekan di Paris Dice. Sisca mengajakku karaoke dengannya, dan seperti biasa aku harus menolak karena ada kuliah pagi. Aku berhasil menutupi kejadian di ruang locker. Bisa kubilang semua berjalan lancar sampai motor Zayyan berhenti di hadapanku yang tengah memesan ojek di depan pintu lobby apartemen.

Helm kuromi tergantung di besi custom belakang jok motornya, helm full face yang biasa dia pakai bergantungan di lengan bawahnya. Wajah kusutnya terlihat jelas di bawah sinar lampu dan bulan. Kesuntukannya tidak lantas mengurangi sinar di wajahnya. Ah, mungkin karena itu aku mudah ditipu olehnya. Kuakui Aslan yang begitu mirip dengannya pun memang selalu tampan tapi ada sesuatu dalam diri Zayyan yang membuatku sulit melepas pandanganku darinya.

"Jangan pesen ojek. Ada aku," katanya.

"Ada lo, harusnya gue telepon polisi sekalian," hardikku.

Zayyan menunduk memandangi tangki motornya. Sesaat kemudian dia menghela napas panjang lalu kembali melirikku. "Maaf, kalau aku terkesan ceramahin hidup kamu padahal aku juga bukan orang baik."

"Mana ada penipu yang baik," sergahku.

Senyum getir terkulum di bibir Zayyan. Sebenarnya semua perkataannya di lorong tadi kurenungkan juga selama berjam-jam. Aku tidak suka penilaiannya padaku. Tidak suka cara dia memperhatikanku. Tidak suka dia tiba-tiba hadir di hidupku yang berantakan dan mengklaim kalau dia itu bala bantuan Tuhan padaku. Namun, sekalipun tidak suka, belum tentu dia bersalah.

Zayyan turun dari motor. Dia berjalan menghampiriku dan berdiri satu meter tepat di depanku. "Aku sadar, kalau aku udah memulai dengan cara yang salah. Kali ini, kalau kamu kasih kesempatan, aku pengin memulai perkenalan kita dengan cara yang benar," ucapnya.

Kujawab dengan desahan berat panjang. Notifikasi di ponselku memberitahu kalau driver ojek segera tiba dalam waktu kurang dari satu menit. Zayyan mengulurkan tangan kanannya ke arahku. "Aku Zayyan. Mahasiswa kedokteran di kampus kamu, tapi status cuti udah setahun. Menurutku, selalu ada awal yang baru setelah sesuatu hancur. Kamu mau, gak, mengawali sesuatu yang baru sama-sama dengan aku?"

Sikap yang cukup kekanakan untuk cowok seusianya, tapi nyaris membuat sudut bibirku terangkat. Untuk sejenak semua kesalahannya jadi tidak penting lagi. Ah! Awal baru apanya? Kalau semua orang punya kesempatan awal baru, hidup tidak akan serumit ini.

Zayyan membungkuk sambil menelengkan kepala agar aku melihat wajahnya, kupalingkan wajahku ke arah yang berlainan.
"Aku belum pernah kasih tahu kamu bakat terpendamku, kan?" sebutnya, tangannya masih terulur. Perkenalan dirinya belum selesai rupanya. "Aku pinter nyalib kendaraan. Kalau kamu lagi buru-buru ke suatu tempat, bisa langsung hubungin aku. Aku jamin, kamu gak akan pernah telat lagi mulai sekarang."

Jakarta's Hidden MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang