17

401 45 8
                                    

Benturan pada kepalanya tadi cukup menghambat perjalanan Zayyan, bahkan beberapa kali dia berhenti hanya untuk menetralisir sakit dikepalanya hingga pada akhirnya dia sampai di pekarangan rumahnya.

Dia langsung memasukkan motor sport nya kedalam bagasi rumahnya, sebelum memasuki rumahnya dia juga sempat mengelap darah di pelipisnya yang sudah hampir kering menggunakan jaketnya.

Dan untungnya jaketnya berwarna hitam setidaknya dapat menyamarkan warna darahnya.

Setelah memastikan tidak ada bekas darah di pelipisnya, Zayyan langsung memasuki rumahnya. Ketika membuka pintu rumahnya, dia langsung dihadapkan dengan papanya yang berdiri menatap dingin kepadanya.

Zayyan berjalan menghampiri papanya walaupun ada ketakutan melihat tatapan itu tapi tetap saja dia harus menghampiri nya.

"Pa" Sapa Zayyan ketika sudah berdiri dihadapan papanya.

Plak!!

Mata Zayyan seketika terpejam merasakan perihnya tamparan keras papanya, bahkan sakit dikepalanya belum sepenuhnya mereda sekarang ditambah tamparan keras di pipinya semakin menambah denyut kepalanya.

"Siapa yang ngizinin kamu buat main piano lagi bahkan sampai mengikuti lomba itu" Ujar papanya sambil menatapnya dingin seakan tidak memiliki belas kasih sedikitpun.

"Pa a-"

"Apa kau menganggap peringatan saya selama ini main-main, sekali lagi saya tekankan kepadamu pembunuh sepertimu tidak pantas meraih mimpi seperti istri saya, setidaknya jadilah berguna dengan memaksimalkan nilai akademismu karena hanya itu yang membuat kau pantas berada disini" Balas papanya memotong ucapan Zayyan.

Zayyan hanya diam menunduk mendengar ucapan papanya, bahkan hanya untuk sekedar menatap papanya dia sudah merasa tidak pantas.

"Beberapa bulan lagi ujian semester, saya tidak menerima alasan apapun jika sampai nilai akademis mu menurun"

Papanya langsung berlalu dari sana setelah mengatakan kalimat peringatan itu untuk kesekian kalinya.

Zayyan mengangkat kepalanya menatap kepergian papanya menuju pintu utama rumah itu, sepertinya papanya akan pergi lagi dan tidak tau kapan akan kembali.

Untuk kesekian kalinya papanya kembali hanya untuk menegaskan bahwa dialah pembunuh itu, apakah pembunuh ini juga boleh untuk membunuh dirinya sendiri.

Dia sudah merasa tidak sanggup menahan segala tekanan batinnya, bahkan air matanya enggan menyuarakan rasa sakitnya.

Jika saja dia tidak mengingat pengorbanan mamanya mungkin sudah lama dia mengakhiri hidupnya sendiri.









Tidak ingin terlalu larut dalam keputusasaannya, dia ingin segera sampai dikamarnya, tubuhnya sudah sangat lemah dia ingin sedikit mengistirahatkan semua letih ini.

Dengan perlahan Zayyan mencoba menaiki tangga menuju kamarnya, tapi baru saja sampai dianak tangga kelima dia sudah tidak sanggup menahan sakit dikepalanya.

Pandangannya berputar, sekuat mungkin dia menahan tubuhnya dengan memegang erat railing di sampingnya. Tubuhnya bergetar hebat, peluh dingin membasahi dahinya. Dengan napas tersengal, dia berusaha menaiki anak tangga selanjutnya, walau kakinya terasa begitu lemah.

Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan diri untuk tidak menyerah. Namun, rasa pusing semakin kuat, pandangannya mengabur, dan dunia di sekitarnya seolah berputar cepat.

Langkahnya terhenti, tubuhnya tak mampu lagi menuruti kehendaknya. Dan akhirnya, tubuhnya ambruk tak berdaya. Kedua tangannya terlepas dari pegangan, dia terjatuh keras menghantam tangga, sementara kepalanya membentur dengan keras di pinggiran anak tangga terakhir.

Izinkan Aku Pergi •Zayyan Story• ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang