21

285 48 20
                                    

Sing memandang Zayyan dengan hati yang berat. Tubuh sahabatnya masih terbaring diam, napasnya teratur tapi lemah, sementara suara mesin-mesin medis terus berdengung monoton di latar belakang. Dalam keheningan kamar itu, Sing merasa seperti tenggelam dalam lautan penyesalan dan keputusasaan. Apakah Zayyan benar-benar akan meninggalkannya begitu saja, tanpa kesempatan untuk mengucapkan kata perpisahan, tanpa bisa melihat senyuman hangat yang selalu menyemangatinya?

Dia menunduk, meremas jemari dingin Zayyan, berharap bisa menyampaikan kekuatannya, seolah-olah dengan memegang tangan sahabatnya, dia bisa menahan waktu yang terus berlalu dengan kejam.

“Zay… gue janji, apa pun yang lo butuhin, gue di sini,” gumamnya pelan, nyaris berbisik. Mata Sing kembali berkabut, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ketidakberdayaannya menggerogoti setiap sudut hatinya.

Leo, yang berdiri tak jauh dari mereka, memandang dengan perasaan serupa. Hari-hari belakangan ini terasa seperti mimpi buruk tanpa akhir. Sekarang, Zayyan seperti tersesat dalam dunia yang tak bisa mereka capai, dan mereka hanya bisa menunggu di ambang harapan yang semakin tipis.

"Kalau gue bisa tukar tempat sama lo, gue akan lakuin itu, Zay," kata Leo lirih, suaranya serak. Dia tahu Zayyan adalah bagian yang tak tergantikan dalam hidup mereka. Ketiadaan Zayyan meninggalkan kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapa pun.

Suara pintu kamar terdengar terbuka pelan, mengalihkan perhatian mereka. Seorang dokter masuk, disusul oleh perawat yang membawa beberapa alat. Wajah dokter itu, seperti hari-hari sebelumnya, terlihat serius dan penuh kehati-hatian.

"Kami akan memeriksa lagi kondisinya," ujar dokter dengan lembut, namun nadanya membawa ketidakpastian yang menambah beban di dada mereka.

Sing dan Leo menyingkir sejenak, memberikan ruang bagi dokter dan perawat untuk melakukan pekerjaannya. Dalam diam, mereka saling bertukar pandang, tak perlu berkata-kata untuk menyampaikan kecemasan yang sama.

Sementara itu, ribuan kilometer jauhnya, di kamar hotel yang mewah namun terasa begitu hampa, Papa Zayyan masih berdiri di depan jendela besar. Di luar sana, lampu-lampu kota London berkelap-kelip, menyiratkan kehidupan yang berjalan tanpa henti, meski hatinya terjebak dalam masa lalu yang membelenggunya. Tatapannya kosong, dipenuhi oleh bayangan-bayangan kenangan yang terus menghantui.

Dia tahu, di balik egonya yang keras dan kata-kata yang tak pernah tersampaikan, dia mencintai putranya. Namun, perasaan itu selalu kalah oleh ketakutannya sendiri—takut akan kehilangan lagi, takut akan kesakitan yang ditinggalkan oleh almarhum istrinya. Setiap kali dia melihat Zayyan, dia melihat sekilas bayangan wanita yang pernah menjadi pusat dunianya. Dan setiap kali itu juga, rasa marah dan kecewa merasuk tanpa kendali, seolah Zayyan menjadi simbol dari kesedihan yang tak pernah mampu dia hadapi.

Dengan tangan yang gemetar, dia kembali meraih teleponnya. Kali ini, tanpa berpikir panjang, dia menekan nomor yang selama ini dihindarinya. Hanya dering yang terdengar, berulang-ulang, sebelum akhirnya suara otomatis menjawab dengan dingin, memberi tahu bahwa panggilan tidak bisa dijawab.

Perasaan hampa semakin menguasainya. Apa yang dia harapkan? Bahwa Zayyan akan mengangkat telepon dan berbicara dengannya seperti dulu, seolah-olah tidak pernah ada jarak di antara mereka? Padahal, setiap hari yang berlalu hanya menambah jarak itu semakin jauh.

Sambil terisak, Papa Zayyan menutup teleponnya. Hatinya menjerit dalam keheningan, namun mulutnya tetap terkunci, tak mampu mengucapkan apa yang benar-benar ingin dia katakan. Di tengah malam yang semakin pekat, di sebuah ruangan yang sunyi, seorang ayah terjebak dalam badai penyesalan yang mungkin tak akan pernah terhapus.

Namun waktu terus berjalan, tanpa peduli pada sesal yang tak tersampaikan. Dan di ujung dunia yang lain, dua sahabat masih berjaga di samping Zayyan, memohon pada keajaiban yang entah kapan akan datang.

Izinkan Aku Pergi •Zayyan Story• ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang