Hari-hari yang dijalani Cello semakin sulit. Tubuh kecilnya yang dulu lincah kini semakin terkunci dalam kelemahan yang perlahan mengambil alih dirinya. Kedua tangannya sudah tak lagi berfungsi, dan setiap gerakan yang dulunya mudah kini menjadi perjuangan berat.
Lynne dan Gerald merasa semakin hancur setiap kali melihat putra mereka yang dulu penuh energi kini hanya bisa berbaring dengan kesulitan bernapas.
Dokter William, dengan nada penuh kehati-hatian, telah memberikan peringatan tegas pada mereka berdua.
"Kalian harus berhati-hati menjaga kondisi emosional Cello. Paru-parunya sudah mulai melemah, kemampuan tubuhnya untuk memompa oksigen semakin menurun. Jika dia menangis terlalu keras atau terlalu lama, itu bisa membuatnya mengalami sesak napas yang serius."
Peringatan itu menghantui pikiran Lynne dan Gerald setiap hari. Mereka tahu betapa rapuhnya putra mereka sekarang, dan tugas mereka untuk menjaga emosinya tetap stabil terasa seperti tanggung jawab yang berat.
Namun, yang lebih sulit lagi adalah menyembunyikan kesedihan mereka sendiri di hadapan Cello. Mereka tidak ingin menambah beban emosional yang sudah dirasakan anak mereka.
Suatu pagi, ketika Cello terbangun, ia merasakan dadanya terasa lebih berat dari biasanya. Setiap napas yang diambilnya seperti perjuangan untuk mendapatkan udara yang cukup. Lynne, yang selalu berada di samping tempat tidur Cello, segera menyadari perubahan itu.
"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, mencoba menahan kepanikan dalam suaranya.
Cello hanya mengangguk pelan, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. "Mommy, aku capek... capek banget," ujarnya dengan suara serak.
Lynne mencoba menenangkannya dengan senyum lembut, meskipun hatinya serasa hancur. "Kamu bisa istirahat, sayang. Mommy di sini, Daddy juga ada. Kita nggak akan pergi ke mana-mana."
Namun, semakin hari Cello merasa sesak lebih sering, terutama saat emosinya naik. Suatu sore, saat Gerald dan Lynne tengah menemani Cello menonton film kartun favoritnya, tiba-tiba layar menampilkan adegan di mana anak-anak lain berlarian di taman, tertawa bahagia. Cello, yang sudah lama tidak bisa merasakan kebebasan itu, mulai merasa sedih. Air mata menetes di pipinya, dan napasnya mulai terengah-engah.
"Aku pengen lari lagi, Daddy... aku pengen main...," Cello terisak, meskipun ia berusaha menahan tangisnya. Namun, isakan itu justru semakin memperburuk kondisinya. Napasnya mulai pendek, dan wajahnya berubah pucat.
"Cello, tenang sayang, tarik napas pelan-pelan," kata Gerald panik, sambil mencoba menenangkan putranya.
Lynne segera berlari mengambil inhaler yang telah disiapkan untuk membantu pernapasan Cello. Ia segera memberikannya, berharap alat itu dapat meringankan sesak yang dirasakan Cello. "Sayang, coba tarik napas dalam-dalam, ya? Mommy ada di sini."
Namun, Cello tampak kesulitan mengikuti instruksi itu. Tubuhnya mulai gemetar, dan matanya dipenuhi ketakutan. "Mommy... Daddy... aku nggak bisa napas..."
Rasa panik langsung meliputi ruangan. Gerald memeluk putranya erat-erat, sementara Lynne dengan tangan gemetar berusaha menenangkan Cello. "Kita panggil dokter sekarang juga," ujar Gerald dengan suara tegang.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, Cello akhirnya bisa bernapas kembali setelah mendapatkan bantuan medis.
Namun, insiden itu memperlihatkan dengan jelas betapa kritisnya kondisi Cello sekarang. Setiap tangisan, setiap emosi yang tak terkendali, bisa memicu serangan sesak yang berbahaya.
Setelah kejadian itu, Lynne dan Geraldo menjadi semakin protektif terhadap Cello. Mereka selalu berusaha membuat suasana di sekitar Cello tenang dan bahagia, meskipun di dalam hati mereka menahan beban kesedihan yang tak terucapkan.
Mereka tahu bahwa waktu bersama putra mereka mungkin tidak akan lama lagi, dan mereka ingin memastikan bahwa setiap momen yang tersisa dipenuhi dengan cinta dan kebahagiaan.
Namun, di balik semua upaya mereka, Cello mulai merasakan sesuatu yang tidak ia ungkapkan. Ia tahu tubuhnya semakin lemah, dan meskipun orang tuanya tidak pernah memberitahunya secara langsung, Cello mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.
Meski ia berusaha kuat dan tetap tersenyum, di dalam hatinya ia takut. Takut kehilangan kesempatan untuk menjalani hidup seperti anak-anak lain, takut kehilangan lebih banyak dari dirinya sendiri.
Suatu malam, saat Lynne duduk di samping tempat tidurnya dan membacakan buku cerita sebelum tidur, Cello menatap ibunya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Mommy... aku akan baik-baik saja, kan?"
Lynne terdiam sejenak, mencoba menahan air matanya. Ia tahu Cello sudah mulai memahami kondisinya, dan meskipun hatinya ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, ia juga tahu bahwa kenyataannya tidak seindah itu.
"Sayang... apapun yang terjadi, Mommy dan Daddy selalu ada di sini untuk kamu. Kita akan lalui ini bersama-sama, ya?" jawab Lynne dengan suara yang lembut, meski bergetar.
Cello mengangguk pelan, meski jawabannya tidak sepenuhnya memuaskannya. Tapi di malam itu, ia memejamkan mata dengan sedikit rasa tenang, dikelilingi oleh cinta yang begitu kuat dari kedua orang tuanya.
Kuat banget ya, Baby Cello bertahannya...
Semoga kalian terinspirasi dari anak sekecil Cello...
Do'ain yang terbaik ya, buat Baby Cello.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Cutie Baby [END]
FanfictionGeraldo dan Lynne adalah sepasang suami istri yang sudah tiga tahun menikah, namun masih belum dikaruniai seorang buah hati. mereka selalu mendambakan buah hati, hingga suatu hari, mereka menemukan bayi menggemaskan di pinggir jalan dalam keranjang...