BAB 1

156 11 0
                                        

Malam itu, Sera segera mengunci pintu kedai kopi. Ia membalikkan tubuhnya dan sempat melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari yang menurutnya sangat melelahkan. Kedai begitu ramai hari ini dan membuat dirinya dan beberapa temannya harus lembur sampai jam sepuluh. Padahal, biasanya ia pulang jam sembilan malam.

Tangannya bergerak meletakkan kunci didalam pot bunga di samping pintu kaca. Sera baru saja melangkah saat Shayne menghentikan motor besarnya di depannya. Dan membuka kaca helm sembari melempar senyum.

"Gue gak telat, kan?" Tanya Shayne.

Sera menggeleng. "Enggak kok. Lagian, kalo lo gak jemput juga tadi gue bisa pulang sendiri."

"Gue gak akan biarin lo pulang sendiri." Shayne meraih helm lainnya dan menyerahkannya pada Sera.

"Ayo."

Sera mengenakan helm-nya dan segera naik keatas motor. Sera selalu membuat jarak dengan meletakkan tasnya di antara dirinya dan Shayne. Ia lebih memilih duduk di ujung jok motor. Dibanding harus duduk tanpa jarak dengan Shayne.

"Ra, kita makan dulu, yuk? Lo belum makan malam kan?"

"Lo mau gue gendut ya?"

"Ya nggak sih. Tapi, kan, lo belum makan. Ntar kalo lo sakit gimana? Lagian makan malem juga nggak bikin badan lo gendut kali."

Sera menghela nafas dan mengalihkan pandangannya. Ia hanya merasa tidak nyaman saat ini. Tidak nyaman karna apa? Sera sendiri tidak tahu. Yang pasti, ia merasa tidak nyaman jika harus menghabiskan waktu berlama lama dengan Shayne.

Pandangan Sera sempat terpaku saat Shayne membawanya melewati jembatan ramai yang membentang panjang di jalanan Jakarta ini. Ada satu kenangan dengan Nathan disini. Jembatan yang selalu ramai dengan para pengendara. Serta lampu kuning sebagai penerang jalannya.

Kenangan manis yang akan selalu Sera ingat. Ah, tidak. Semua kenangannya bersama Nathan selalu manis. Tidak ada yang pahit. Sera memejamkan kedua matanya saat kenangan itu kembali berputar. Dan mungkin, kenangan itu akan membuat rasa bencinya muncul lebih dalam. Karna rasa cintanya pada Nathan yang begitu besar.

Flashback on...

"Capek ya?" Nathan mengalihkan pandangannya menatap Sera dengan senyum manisnya. Nathan bertanya setelah sebelumnya melihat Sera mengipas-ngipaskan tangannya.

Sera menatap Nathan sekilas dan hanya menganggukkan kepalanya. Sera sesekali berhenti untuk kembali mengambil nafas. Rasanya berjalan dari bengkel mobil itu sangat jauh. Dan di tengah malam seperti ini. Sama sekali tak ada taksi yang melintas. Menyebalkan.

"Ayo naik." Nathan menepuk kedua pundaknya dan memposisikan dirinya untuk berjongkok di hadapan Sera.

"Enggak ah. Nanti lo yang capek." Tolak Sera.

Nathan tampak melebarkan senyumnya. "Ayo, naik aja. Gue ini cowok. Gak bakal capek cuma gendong lo yang kecil kayak gini." Balas Nathan.

Sera merasa ragu untuk mengikuti apa yang Nathan sarankan. Ia hanya takut kalau nanti Nathan kelelahan. Perlahan, Sera mulai naik dipunggung Nathan. Melingkarkan kedua lengannya pada leher Nathan.

Sera sempat memejamkan matanya saat Nathan mulai beranjak dari posisinya dan kali ini dengan beban berat tubuhnya. Sera hanya takut Nathan tidak kuat. Tapi, nyatanya, Nathan melangkah dengan begitu santai.

"Raa.." Nathan bersuara.

"Hmm." Dan Sera hanya membalasnya dengan deheman yang membuat Nathan tersenyum. Entahlah, laki-laki itu sangat mudah sekali tersenyum. Bahkan, hampir setiap detik Sera melihat wajah Nathan terukir senyuman. Manis sekali.

Bruiden Die Falen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang