29. Khaviar Abrar

16 15 1
                                    

❝ Bagaimanapun orang-orang memandang remeh kamu, kamu tetaplah orang berharga yang tak pantas untuk bersedih karena omongan jahat mereka❞

Sagara Arshe

°°°

Seusai meninggalkan ruang unit kesehatan sekolah, Khavi berjalan bergegas menuju kantin. Ia tidak merespon apapun kepada kekasihnya yang kini sudah berjalan berdampingan dengan Sagara, namun perasaan cemburunya tidak berlangsung lama dikala ia melihat ke arah Sagara. Yang ia lihat hanyalah pucuk rambut kekasihnya, sekuat tenaga ia menahan tawanya dikala melihat botol yakult yang kini berjalan mengikuti langkah panjang Khavi. Pikiran jahatnya tiba-tiba saja menyuruhnya untuk mempercepat langkah agar Sagara tidak mampu menyeimbangkan langkahnya, ternyata pikirannya langsung merespon ke kakinya. Laki-laki jangkung itu berjalan dengan langkah cepat, tentu saja Sagara tidak mampu menyeimbangkan langkah panjang kekasihnya

"IARRRRRRRRRR, LO SENGAJA YAA?!" Tegur Sagara dengan teriakan mematikan

"HAHAHAHAHAHA, MAKANYA JANGAN PENDEK" Ejek Khavi sembari tertawa terbahak-bahak, perempuan di depannya terlihat kesal kemudian sedikit berlari mendekati Khavi

"Gue ga pendek, lo nya aja yang spek raksasa" Sindir Sagara

"Dih dasar tutup toples, Sacil"

"Ngeselin banget, ayo ah aku mau es krim sama mie ayam" Sagara menggandeng tangan Khavi, mengajaknya untuk segera pergi ke kantin

°°°

Dalam ruangan gudang sekolah dimana tempat ia menyiksa dan hampir melakukan kekerasan seksual kepada Winata, Jeffrian duduk sembari memandangi tiap-tiap sudut ruangan. Entah apa isi pikirannya yang menyebabkan terjadinya insiden di gudang sekolah, namun secara perlahan ingatan demi ingatan dari masa kanak-kanaknya terlintas dipikiran.

"Gue pernah jadi orang favorit lo, Sheshe. Sekarang lo benci gue ya? Gue terlalu jahat ke kakak kandung lo ya? Hahaha, tapi gue ga peduli Sheshe. Sekalinya lo milik gue, lo harus tetep jadi milik gue" Ujar Jeffrian sembari tersenyum miring seraya berkata "Gue tetep akan rebut lo dari Khavi"

°^°

Udara malam yang dingin, tidak menggoyahkan laki-laki jangkung yang berdiri di balkon kamarnya berniat untuk masuk ke dalam kamar. Menurutnya malam adalah tempat untuk melampiaskan segala rasa yang campur aduk, tidak ada yang mendengar ataupun melihatnya lemah. Sunyi, sepi dan sendirian. Suasana malam yang begitu ia sukai

"Perasaan gue campur aduk, ga ada yang mendominasi. Ga apa kalo gue tinggalin Sagara semalaman?" Monolognya, pandangannya tertuju pada bulan yang menerangi bumi dikala malam menjelang

"Bulan, titip perempuan yang udah mewarnai hidup gue selama ini. Sagara, gue pamit dulu sebentar. Gue pengen sendirian" Kata Khavi kepada bulan yang masih setia di posisi yang sama

Sedaritadi, ia menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipinya. Akan tetapi semakin ia tahan, maka semakin sesak bahkan tenggorokannya seperti tercekik. Suasana di dalam rumahnya tidak terdengar baik-baik saja, kedua orangtua Khavi terlibat percekcokan. Awalnya sebagai anak pertama, Khavi melerai kedua orangtuanya agar adik-adiknya di kamar tidak mendengar orang tuanya bertengkar. Namun bukannya berhenti, Khavi malah terseret dan caci-makian tertuju pada anak laki-laki berparas tampan. Hal itu menyebabkan dirinya pergi dan berteduh di balkon, dari awal ia berniat untuk mencurahkan hatinya kepada kekasihnya. Niat itu ia urungkan, mengingat Sagara belakangan ini mendapatkan banyak musibah. Bukan berarti ia menolak menjadikan kekasihnya sebagai rumah, tetapi ia juga harus pintar-pintar melihat kondisi untuk menjadikan kekasihnya rumah untuk ia bercerita.

"Maaf sayang, gue ga bisa cerita sekarang" Ucapnya lirih

Tanpa di minta, air matanya jatuh membasahi pipi. Tenggorokannya semakin sakit, haruskah ia mengeluarkan air matanya agar melepaskan rasa sakitnya. Air mata yang keluar begitu deras, dada sebelah kirinya begitu sakit dan sesak. Biarlah orang-orang menilainya lemah, siapa yang berkata jika laki-laki tidak boleh menangis. Laki-laki juga sama manusia, sama-sama makhluk Tuhan yang lemah. Ada saatnya untuk rapuh dan tidak mampu berdiri, karena itu hal manusiawi. Langit merespon seperti mengerti keadaan Khavi, langit yang gelap dengan bulan yang menemani tiba-tiba saja menampilkan ribuan bintang yang bersinar. Penampilan alam yang indah membuat Khavi terpesona, mata yang berbinar dan menghentikan air mata yang menerobos ingin dikeluarkan.

"Kenapa di waktu-waktu kaya gini pikiran gue selalu tertuju pada Saga, sehebat itu dia menguasai isi pikiran gue" Ujar Khavi yang masih setia menatap ribuan bintang yang bersinar

Tidak lama, suara bising kembali masuk ke indra pendengarannya menyebabkan ia kembali pada isi pikiran semula.

"Kamu bisa tenang dulu bisa?! Anak-anak lagi tidur, kamu mau mereka denger pertengkaran kita hah?!"

"Kamu kenapa sih mas?! Kaya menghindar gitu setiap aku minta penjelasan"

Khavi menutup indra pendengarannya agar tidak lagi mendengar percekcokan kedua orangtuanya, memejamkan matanya berharap jika ini hanyalah mimpi buruk yang menjadi bunga tidurnya. Nasib buruk tetaplah berjalan semestinya, Khavi meringkuk sembari menangis. Memang hal umum pertengkaran di dalam rumah tangga, tapi bisakah dibicarakan dengan baik-baik. Tidak semua anak dapat mengerti keadaan rumah yang hampir runtuh, tidak semua anak dengan lapang dada menerima trauma dari pertengkaran rumah tangga. Selama ini ia bertahan dari masalah-masalah keluarga yang terbilang berat bagi anak yang masih belasan tahun, dan selama ini ia menahan sakit dari masalah-masalah yang ia terima.

"Aku bangga sama kamu, Viar" Kalimat yang baru saja masuk ke dalam telinganya membuat Khavi mematung, tak lama ia menatap kesana-kemari mencari seseorang yang berkata demikian. Tetapi, tidak ada orang lain di balkon kamarnya hanya ia seorang diri.

"Saga, kamu disini sayang?" Cakap Khavi yang masih menatap kesana-kemari, namun tetap saja ia tidak menemukan kekasihnya

°°°

Di waktu yang sama namun di tempat yang berbeda, Sagara sedang menanyakan kekasihnya kepada Khaell. Dari sore sepulang dari sekolah, kekasihnya sama sekali tidak ada kabar. Rasa khawatir tentu saja menyita hatinya, tetapi jawaban dari Khaell sama sekali tidak membantu. Karena temannya pun tidak mengetahui keberadaan Khavi, perempuan dengan rambut terurai terus mondar-mandir.

"Viar, lo dimana. Gue takut, gue takut keadaan lo di luar sana membahayakan lo" Ujar Sagara yang masih mondar-mandir, ia di rumah sendirian karena tidak ikut dengan keluarganya yang menemani Winata di rumah sakit.

Sebuah notifikasi dari handphonenya berbunyi, cepat-cepat ia berlari menuju meja belajarnya dan mengambil handphone miliknya. Ternyata pesan yang dikirim bukan dari kekasihnya, melainkan dari nomer asing. Mata Sagara melotot ketika membaca pesan dari notifikasi, melempar handphone ke kasurnya

"Jangan, jangan, jangan" Ucap Sagara mengulang-ulang kata jangan, tingkah aneh dari Sagara memperlihatkan bahwa dirinya merasa terancam sekaligus merasa panik yang berlebihan

"Tolong... Tolong... Jangan, jangan, jangan" Wajah Sagara pucat pasi, tangannya bergetar dengan hebat. Jantungnya berdetak dengan kencang, perasaan campur aduk terus menyentuh hatinya. Pesan apa yang dikirim oleh nomer asing itu?

°°°

Khavi & Sagara ✔️EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang